Kamis, 28 Oktober 2010

Review Takers


Review

Takers (Screen Gems_2010)

Pemain :

  • Matt Dillon as Jack Welles
  • Idris Elba as Gordon Cozier
  • Paul Walker as John Rahway
  • Jay Hernandez as Eddie Hatcher
  • Hayden Christensen as A.J
  • Michael Ealy as Jake
  • Chris Brown as Jesse
  • T.I as Ghost

Sutradara : John Luessenhop

Rilis :

  • 27 Agustus 2010 (Amerika Serikat)
  • 27 Oktober 2010 (Main di Bioskop Indonesia)

Ketika sebuah kasus pencurian terjadi, polisi pasti turun tangan untuk menangani kasus pencurian tersebut. Namun, ada kalanya kepolisian sulit untuk mengungkap kasus pencurian yang ada berkat minimnya bukti fisik yang tetinggal di TKP ( Tempat Kejadian perkara ). Nah, bagaimana jadinya jika sepasang polisi tangguh berusaha untuk menangkap segerombolan pencuri yang terkenal selalu sukses untuk melakukan pencurian spektakuler tanpa meninggalkan jejak sama sekali? Tema cerita inilah yang hendak diangkat oleh tim penulis cerita yang beranggotakan John Luessenhop, Gabriel Casseus, Peter Allen, John Rogers dan Avery Duff lewat film action thriller heist berjudul Takers.

Kisahnya tentang sepasang polisi detektif tangguh bernama detektif Jack Welles (Dillon) dan juniornya, detektif Eddie Hatcher (Hernandez) yang berusaha untuk menangkap sekelompok pencuri yang terkenal sangat ahli dalam menjalankan misi pencurian spektakuler serta sangat susah untuk ditangkap oleh polisi akibat perencanaan dan pelaksanaan pencurian mereka yang sangat detil dan juga rapi. Kelompok pencuri yang dipimpin oleh Gordon Cozier (Elba) serta beranggotakan John Rahway (Walker), A.J (Christensen), serta kakak beradik Jake (Ealy) dan Jesse (Brown) ini memang merupakan sekelompok pencuri yang merupakan target operasi utama kepolisian. Suatu ketika, salah seorang mantan anggota tim pencuri tersebut, Ghost (T.I), mendatangi tim pencuri tersebut selepas dirinya dibebaskan dari penjara dan menawarkan pekerjaan untuk mencuri sebuah mobil lapis baja yang mengangkut uang senilai 30 juta Dolar Amerika. Awalnya, tim perampok tersebut sempat ragu dengan tawaran Ghost karena Ghost dulu tertangkap oleh polisi ketika mereka sedang menjalankan aksinya 5 tahun lalu sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa Ghost akan balas dendam kepada mereka. Namun Ghost meyakinkan mereka bahwa dia tidak pernah membenci kawan – kawannya tersebut. Tim pencuri inipun akhirnya tertarik dengan tawaran menggiurkan tersebut dan menyanggupi pekerjaan yang ditawarkan oleh Ghost. Namun, detektif Welles dan juga detektif Hatcher sedikit demi sedikit mulai bisa mengendus keberadaan pencuri kelas kakap tersebut, sehingga misi pencurian kali ini akan menjadi sebuah misi pencurian yang berbahaya dan penuh resiko. Berhasilkah tim pencuri yang dijuluki Takers ini menjalankan misi pencurian spektakuler mereka kali ini? Atau justru detektif Welles dan detektif Hatcher mampu membekuk mereka kali ini?

Film Takers memang memiliki misi untuk menghibur penontonnya lewat suguhan adegan action yang cepat dan juga seru, dan hal tersebut benar – benar bisa sangat dirasakan selama 98 menit film ini bergulir. Semangat untuk mempersembahkan sebuah film khas ala anak muda benar – benar terasa kental di film ini. Beberapa adegan action seperti baku tembak, fast cutting scene, dan musik yang menghentak selama film ini berlangsung membuat film ini terasa banget semangat anak mudanya. Selain itu, film inipun juga menceritakan tentang adu pintar serta adu strategi antara pihak kepolisian dengan pihak pencuri. Kita bisa melihat bagaimana perencanaan matang yang dilakukan oleh tim pencuri guna mendapatkan target incaran mereka. Di sisi lain, pihak kepolisian juga bekerja keras guna mengidentifikasikan para pencuri, mengetahui target dan strategi pencurian yang hendak dilakukan oleh si pencuri, serta berusaha untuk menangkap sang pencuri. Adu cerdik, adu cepat, pengeksekusian rencana pencurian yang telah dipersiapkan matang – matang, serta dikombinasikan dengan adegan – adegan action seru nan menghibur membuat film action yang sempat menjadi nomor 1 di tangga Box Office Amerika di akhir bulan Agustus silam ini mampu memberikan sebuah tontonan yang seru dan juga menghibur kepada para penontonnya.

Uniknya, film ini juga menampilkan warna chrome atau warna pekat yang sangat kental di film ini. Hal ini dirasa cukup kreatif karena lewat tampilan warna yang seperti itu membuat film ini terasa beda dibanding film – film action khusus anak muda yang sejenis. Lebih tepatnya, kita seperti menyaksikan sebuah film dengan tampilan seperti layaknya kita menonton sebuah video clip musik.

Dari segi akting, semua pemain bermain seadanya dan sudah sesuai dengan porsi peran yang ada pada film ini. Dukungan bintang – bintang terkenal yang sudah punya tempat di hati anak muda, seperti Paul Walker, Hayden Christensen, rapper T.I, Jay Hernandez hingga penyanyi Chris “John” Brown ( namanya sering diplesetkan seperti itu karena penyanyi remaja ini dengan sukses “membogem” sang mantan pacar, penyanyi Rihanna, hingga babak belur layaknya petinju Chris John memukul samsak tinju. Wakakaka. XD ), dirasa tepat dan mampu menjadi daya tarik bagi penonton kawula muda agar mau menyaksikan film action pencurian yang satu ini di bioskop. Sedangkan untuk aktor yang sudah matang, nama Idris Elba serta aktor keras Matt Dillon menjadi pilihan yang sangat pas untuk memerankan karakter ketua pencuri dan polisi senior ini.

Paul Walker seperti biasanya bermain cool dan juga sedap untuk dipandang mata, seperti layaknya ketika dia bermain dalam film – film action khas anak muda, seperi misalnya dalam film The Fast and The Furious. Rapper T.I bermain cukup menarik sebagai tokoh Ghost, namun kapasitas aktingnya sama saja seperti rapper – rapper lain yang bermain dalam film layar lebar : datar dan juga khas orang – orang negro pada umumnya. Gaya bicaranya, gaya berjalannya, hingga mimik mukanya yang cukup sangar dan licik terkesan biasa dan sama saja seperti rapper – rapper lain. Aktor Matt Dillon kembali bermain pas sebagai tokoh polisi keras bernama Jack Welles, mirip seperti ketka dia bermain gemilang sebagai polisi yang keras dan tangguh, namun memiliki sisi lembut dalam dirinya dalam film Crash tempo hari, dan untungnya, aktor muda Jay Hernandez cukup bisa mengimbangi permainan Dillon sebagai sang partner, yaitu detektif Eddie Hatcher. Sedangkan aktor Idris Elba bermain pas dan cukup berwibawa sebagai Gordon, sang ketua pencuri yang memiliki konflk dalam dirinya diluar kelucuan mengenai cara berjalannya cukup aneh dan lucu dalam film ini ( coba lihat ketika adegan dia berjalan kaki dalam film ini ). Untuk Chris Brown, penampilannya cukup menarik juga sebagai tokoh Jesse yang ahli dalam hal melarikan diri dari kejaran polisi dengan teknik Parkour yang dikuasainya. Sedangkan untuk aktor Hayden Christensen, Michael Ealy, dan aktris Zoey Zaldana sayangnya hanya seperti tempelan belaka dan akting serta penampilan mereka seperti berlalu begitu saja serta terkesan kurang penting.

Namun, kekurangan pada film ini tetap berkutat pada eksekusi cerita dan filmnya yang tetap hanya menjadi sebuah film menghibur semata tanpa ada greget yang baru. Eksekusi pencuriannya pun hampir mirip seperti film action thriller hesit The Italian Job tempo hari. Ya tidak bisa disalahkan sepenuhnya memang karena hal inilah yang pasti akan menjadi jualan utama Takers. Yang penting adegan action seru dan menghibur, maka cerita pun bisa dikarang untuk menyesuaikan adegan action yang ada. Namun, semoga penonton tidak bosan saja dengan hal ini. Mungkin akhir – akhir ini pembuat film – film action bisa melihat dari contoh 2 film action seru pada Summer tahun ini, yaitu Inception dan juga Salt, dimana kedua film tersebut unggul dalam 2 hal, yaitu cerita yang berbobot dan juga berbagai adegan action yang juga seru dan mampu untuk menghibur penonton. Bosan juga rasanya jika kita lama – lama diberikan sebuah film action yang ringan – ringan saja tanpa ada bobotnya, dan kelihatannya, hal inilah yang sedang menimpa perfilman Hollywood akhir – akhir ini.

Kekurangan lain dari film ini adalah jadwal edarnya yang terlalu terlambat untuk masuk ke bioskop Indonesia. Jeda waktu sekitar 2 bulan antara jadwal rilis di Indonesia maupun di Amerika-nya membuat film ini bisa saja ditinggal penonton yang sudah menunggu – nunggu film ini. Bisa saja penonton lebih memilih untuk menonton film ini lewat DVD karena jeda waktu yang terlalu panjang bisa menyebabkan filmnya sudah keluar lebih dulu dalam bentuk DVD dengan kualitas yang sudah bagus dan juga jernih..

Overall, film Takers adalah sebuah film ringan menghibur yang sangat pas untuk anda tonton minggu ini bagi anda yang sedang mencari sebuah film ringan menghibur tanpa perlu berpikir keras untuk menontonnya. Target pasar film ini yang memang mengarah untuk kalangan anak muda membuat film ini dibuat dengan semangat anak muda : ringan dan juga menghibur. Seperti layaknya ketika kita menonton film The Fast and The Furious di tahun 2001 silam, dimana film tersebut memang dibuat untuk kalangan anak muda, maka film Takers pun sebenarnya juga dibuat dengan hal yang sama. Kekurangan di sektor cerita yang lemah dan sudah sering dipakai formulanya oleh banyak film ini tidak terlalu berpengaruh bagi mereka yang memang nge-fans dengan film seperti ini. Namun, tetap saja, masih banyak kekurangan dalam film ini yang seharusnya bisa dibenahi agar bisa menjadi film yang lebih baik lagi. So, bagi anda yang memang sedang mencari sebuah film ringan menghibur tanpa perlu terlalu berpikir keras untuk menikmatinya, maka film Takers WAJIB untuk anda tonton minggu ini. Akhir kata, selamat menonton.


Point :

Cerita = 4 / 10

Pemain = 5 / 10

Kriteria khusus :

Unsur Hiburan

dan action = 7 /10

Total = 5.5 / 10

Copyright : Alexander ”Ajay” Dennis

Theatrical Trailer:

Selasa, 19 Oktober 2010

Preview RED


Preview

RED ( Summit Entertainment_2010 )

Pemain :

  • Bruce Willis as Frank Moses
  • Mary-Louise Parker as Sarah
  • Morgan Freeman as Joe
  • Helen Mirren as Victoria
  • John Malkovich as Marvin
  • Brian Cox as Ivan Simanov

· Karl Urban as Cooper

Sutradara : Robert Schwentke

Rilis =

  • 15 Oktober 2010 ( Amerika Serikat )
  • 16 Oktober 2010 ( Midnight Show di Bioskop Indonesia, exclusive hanya di XXI )
  • 19 Oktober 2010 ( Main di Bioskop Indonesia, exclusive hanya di XXI )

Memburu agen rahasia ternama yang dilakukan oleh negaranya sendiri? Sudah biasa. Trilogy film Jason Bourne adalah bukti film yang berkisah tentang perburuan seorang agen pemerintah oleh negaranya sendiri. Namun, apa jadinya jika agen yang diburu adalah agen – agen tua yang sudah pensiun dan sedang menikmati hidup, namun ketika ditekan bisa berubah menjadi agen – agen ganas nan brutal yang tidak kalah sakti dibanding para pemburunya yang berusia masih muda? Nah, inilah tema cerita yang diangkat dalam film produksi Summit Entertainment berjudul RED ini. Film yang diangkat dari komik karangan Warren Ellis dan Cully Hamner. ini cukup dinanti oleh para penggemarnya serta penggemar berat film action comedy yang ringan menghibur.

Film RED ini berkisah tentang seorang mantan agen CIA bernama Frank Moses ( Willis ) yang sudah memasuki masa pensiun serta hidup tenang di rumahnya. Moses dulunya bekerja sebagai agen CIA yang sering melakukan misi Black Ops ( misi rahasia dan terhitung ilegal ) untuk negaranya. Hingga suatu ketika, pada saat Moses sedang bersantai di rumahnya menikmati masa pensiun, rumahnya langsung diserbu sekelompok orang bersenjata lengkap dengan tujuan berusaha untuk menghabisi dirinya. Moses yang sangat ahli dalam hal pertarungan, senjata, serta strategi pun akhirnya bisa menghabisi semua pengusiknya tersebut. Penasaran dengan tujuan dan identitas orang – orang tersebut, Moses pun mencari tahu siapa dan kenapa dirinya hendak dihabisi oleh orang – orang tersebut. Menilai bahwa kekuatan musuh lebih besar dibanding dugaannya, Moses pun mengumpulkan kembali tim lamanya yang terdiri dari orang – orang yang ahli dalam bidangnya, namun semuanya memiliki ke-eksentrikan serta keunikan tersendiri. Ada Joe ( Freeman ) yang ahli dalam pengumpulan informasi, Victoria ( Mirren ) yang merupakan seorang sniper handal dibalik sifatnya yang feminim dan keibuan; serta Marvin ( Malkovich ) yang selalu penuh dengan kecurigaan terhadap siapapun, emosional, serta seorang ahli bom nomor wahid. Dibantu dengan rekan Moses, yaitu Sarah ( Parker ), tim pensiunan agen CIA nomor wahid ini pun berusaha untuk melumpuhkan serta menghabisi semua orang yang bermaksud membunuhnya, serta mencari tahu dalang serta motif pembunuhan tim elit ini. Para penjahat tersebut ternyata tidak sadar, bahwa mereka sedang menghadapi tim yang dijuluki RED alias Retired Extremely Dangeours ( Pensiun namun Sangat Berbahaya ) ini dan para pembunuh tersebut bersiap untuk menanti ajal karena RED tidak segan – segan untuk menghabisi mereka.

Bisa dikatakan, RED merupakan salah satu dari sekian banyak film yang diangkat dari komik. Adanya sedikit perbedaan terhadap komiknya sudah merupakan hal yang wajar karena dibutuhkan beberapa penyesuaian antara setting komik dan juga setting filmnya, agar filmnya masih bisa dinikmati oleh semua kalangan. Hal ini masih bisa diterima oleh para penggemar RED, yang terbukti masih antusias untuk menyaksikan filmnya. Dukungan aktor – aktris wahid dalam film inipun merupakan point plus film ini. Nama aktor Bruce Willis memang sudah familiar sebagai aktor spesialis film – film action. Empat seri film Die Hard, peran cameo dalam film action pameran pria macho nan berotot berjudul The Expendables, serta lusinan film – film action lainnya, baik yang sudah dan akan segera dibintanginya ( contohnya film dari adaptasi game terkenal, yaitu Kane and Lynch yang diperkirakan akan dirilis pada tahun 2011; serta tentunya, Die Hard 5 di tahun 2012 ) adalah bukti bahwa aktor yang sudah berusia 55 tahun ini ternyata masih sanggup untuk berperan sebagai bintang film action disetiap filmnya. Aktor Karl Urban yang baru – baru ini menyabet peran Judge Dredd dalam film action sc- fi Judge Dredd pun juga akan ikut berperan sebagai lawan tangguh Willis dalam film RED ini. Dan tentunya, siapa yang tidak penasaran dengan kehadiran 2 aktor serta seorang aktris yang sudah uzur namun masih mantap dalam hal memegang senjata, yaitu aktor Morgan Freeman, John Malkovich, dan aktris Helen Mirren? Apalagi, ketiga orang ini adalah aktor dan aktris yang menurut banyak orang tidak akan mampu untuk memegang senjata berat dan bermain dalam film action semacam ini. Namun, hal inilah yang membuat film yang memiliki budget produksi sebesar US$ 60 juta ini memiliki daya tarik dan keunikan tersendiri. Sutradara Robert Schwentke pun juga sudah berpengalaman untuk mengarahkan film action semacam ini. Terbukti, lewat film Flightplan serta film Jerman berjudul Tattoo yang kualitasnya cukup baik untuk menjaga tensi ketegangan penonton, minimal sutradara asal Jerman ini sudah memberi jaminan terhadap tensi seru serta ketegangan film RED ini. Tak lupa juga dukungan produser spesialis film action seru yang baru saja sukses lewat film Salt di bulan Juli kemarin, Lorenzo di Bonaventura, semakin menambah bobot action serta menjadi jaminan mutu filmnya akan laris dimana – mana.

Namun, ada kekhawatiran filmnya akan seringan film The Losers awal tahun lalu yang kualitasnya tergolong biasa – biasa saja, walaupun termasuk cukup seru dari sektor adegan – adegan actionnya serta menghibur dari segi komedinya. Well, tidak semua orang bisa menerima film The Losers tempo hari akibat bobot filmnya yang begitu ringan serta kurang menggigit bagi sebagian orang. Apalagi, kasusnya cukup serupa dengan film RED ini, dimana kedua film tersebut diangkat dari komik namun kurang terkenal di luar Amerika, sehingga penonton kurang familiar dengan komiknya dan bisa jadi malas untuk menyaksikan film adaptasinya.

Overall, di luar kekhawatiran film RED akan menjadi sebuah film action comedy yang ringan semata, serta masyarakat kita kebanyakan tidak mengenal komiknya, setidaknya nama besar Bruce Willis bisa menjadi senjata ampuh untuk menarik minat penonton agar mau menyaksikan film ini di bioskop. Boleh dikatakan, nama besar aktor yang makin tua makin menjadi – jadi ini masih bisa menarik minat penonton untuk menyaksikan film – filmnya di bioskop, walaupun tidak semua filmnya berkualitas baik. Tengok saja film garing Cop Out tempo hari, atau film action yang tidak menggigit berjudul The Surrogates tahun lalu. Namun tetap saja, aktor yang pernah menikah dengan aktris Demi Moore ini masih bisa menjadi magnet serta jaminan lakunya film – film yang dibintangi olehnya. Apapun hasil final film RED ini, tetap, RED adalah film yang WAJIB untuk ditonton minggu ini bagi anda yang sedang mencari sebuah film action comedy yang ringan menghibur. Selain itu, jarang – jarang loh kita bisa melihat aktor Morgan Freeman, John Malkovich, dan juga Dame Helen Mirren pegang senjata berat dan juga melakukan berbagai adegan action seru di sebuah film. Usia boleh uzur. Muka dan badan boleh sudah berkeriput. Namun tetap saja, aktor dan aktris veteran tersebut bisa tampil garang dalam film action ini. So, butuh film action yang ringan menghibur minggu ini? RED adalah jawabannya. Akhir kata, selamat menonton.

Copyright : Alexander ”Ajay” Dennis

Trailer 1:

Trailer 2:

Sabtu, 16 Oktober 2010

Preview Step Up 3D


Preview
Step Up 3D ( Step Up 3 )
( Summit Entertainment & Touchstone Pictures_2010 )


Pemain :
  • Rick Malambri as Luke Katcher
  • Sharni Vinson as Natalie
  • Adam Sevani as Robert "Moose" Alexander III
  • Alyson Stoner as Camille Gage

Sutradara : Jon Chu



Rilis =
  • 6 Agustus 2010 ( Amerika Serikat )
  • 12 Oktober 2010 ( Main di Bioskop Indonesia, exclusive hanya di XXI )

Film dance dengan format 2D?? Ah, itu sudah biasa. Basi. Sudah banyak film dengan tema dance yang diangkat ke layar lebar. Sebut saja film Dirty Dancing, Saturday Night Fever, Grease, hingga era MTV di tahun 2000-an seperti Stomp The Yard, Step Up dan Step Up 2 the Streets. Bosan juga jika melihat film dance dengan cerita dan teknologi gambar yang itu – itu saja walaupun sudah dibantu dengan koreografi tari yang semakin hari semakin terlihat keren saja. Namun, film dance dengan format gambar 3D?? Nah, ini baru terobosan baru!! Teknologi 3D memang sedang menumental saat ini. Tak heran, banyak genre film yang langsung mengaplikasikan teknologi 3D dalam film – film buatan mereka. Genre film dance yang diangkat kedalam format 3D baru film Step Up 3D ini saja, sehingga membuat film Step Up ketiga ini sangat dinanti oleh banyak kalangan pencinta film dance.

Film ini berkisah tentang Moose ( tokoh dari film Step Up 2 to the Street, diperankan oleh Adam Sevani ) dan juga Camille Cage ( tokoh dari film Step Up, diperankan oleh Alyson Stoner ) yang berkuliah di New York University. Moose mengambil jurusan electrical engineering dan berjanji kepada sang ibu agar tidak akan pernah melakukan dance lagi. Namun, apa daya, hasrat dan keinginan dance yang kental membuatnya selalu rindu untuk nge-dance dimanapun. Hingga akhirnya, Moose bertemu dengan seorang pemuda bernama Luke ( Malambri ) yang mengajaknya bergabung dengan club dance-nya, The House of Pirates. Moose pun akhirnya terseret kembali ke dalam dunia pertarungan dance antar kelompok setelah dirinya ikut terlibat dengan Luke dan kelompoknya, hingga akhirnya mereka harus menghadapi saingan mereka, yaitu klub dance bernama House of Samurai. Persaingan kedua kelompok dance tersebut akhirnya terjadi pada pertarungan dance paling akbar, yaitu The World Jam Dance Competition. Namun, banyak rintangan yang dihadapi oleh Luke dan juga Moose, hingga akhirnya bisa memecah belah keutuhan kelompok ini. Lalu, bagaimana akhir dari film ini? Apakah House of Pirates mampu mengalahkan House of Samurai dalam pertandingan dance sejagad tersebut?

Film Step Up 3D ini kembali disutradarai oleh Jon Chu, sutradara dari film Step Up 2 the Streets. Pengarahannya yang memang lebih mengena di hati anak muda dengan sinematografi yang menarik dan pas di mata anak muda serta koreografi dance yang lebih stylish membuat Summit Entertainment mempercayakan film Step Up 3 ini untuk diarahkan olehnya ketimbang sutradara film Step Up yang pertama, Anne Fletcher. Selain itu, faktor bahwa Step Up 2 the Street lebih sukses dan lebih laku ketimbang Step Up pertama juga membuat Summit lebih rela untuk menyerahkan project prestisius ini ke tangan Chu. Bonusnya lagi, Summit pun memberikan pilihan bagi Jon untuk menjadikan film ini sebagai film dance pertama dengan format film 3D.

Untuk urusan pemilihan pemain, Chu tidak perlu terlalu repot untuk mengurusnya. Dengan mempergunakan dance campaign berupa reality show bernama So you Think You Can Dance, dimana semua orang di Amerika yang merasa memiliki bakat nge-dance yang keren dan berani untuk unjuk kebolehannya di depan kamera dipersilahkan untuk saling berkompetisi memperagakan gerakan dance mereka kepada para penonton di Amerika. Campaign ini tergolong efektif dalam hal pengumpulan dancer yang nantinya akan muncul di di film Step Up 3D ini akibat membeludaknya peminat campaign yang satu ini. Untuk tokoh utamanya, Chu masih mempercayakan Adam Sevani sebagai pemeran tokoh Moose serta Alyson Stoner sebagai pemeran tokoh Camille. Selain itu, dipilihlah juga Rick Malambri sebagai tokoh dancer berkharisma bernama Luke dan juga aktris cantik Sharni Vinson sebagai pemeran Natalie, kekasih Luke yang memiliki rahasia tersendiri. Fanbase film ini yang sudah banyak, ditambah sudah kenalnya penonton dwilogy film Step Up dengan tokoh Moose dan Camille plus tambahan casting ganteng aktor Rick Malambry serta aktris cantik sexy Sharni Vinson, dan juga promosi penggunaan 3D dalam film ini memuat daya jual film ini begitu menarik di mata penonton, khususnya anak muda penggemar film bertema dance, serta tentunya, fans berat dwilogy film Step Up di seluruh dunia.

Namun, hati – hati. Penggunaan 3D akhir – akhir ini semakin diselewengkan serta dinodai oleh banyak pihak yang tidak bertanggung jawab dengan cara mennggunakan embel – embel 3D sebagai promosi filmnya, namun ternyata hasil 3D hancur amburadul. Dengan demikian, penonton bisa saja tertipu dan malas untuk menyaksikan film – film yang diberi embel – embel 3D. Apakah Step Up 3D juga akan menjadi film dengan hasil 3D yang buruk? Semoga saja tidak. Selain itu, faktor kebosanan penonton terhadap cerita filmnya yang itu – itu saja bisa membuat penonton serta fans Step Up malas untuk menyaksikan kembali film lanjutannya di bioskop. Memang koreografi dance boleh makin hari makin keren. Namun, ada baiknya sektor cerita juga diperhatikan, agar ada sebuah variasi menarik dimana penonton bisa mendapatkan kepuasan ganda : koreografi dance yang keren, serta tentunya cerita yang menarik, berbeda, dan mampu memikat semua kalangan, tak hanya khusus untuk kalangan penggemar film dance saja. Dan kekurangan terakhir film ini adalah, jadwal edarnya yang tergolong terlambat sekali. Beda 2 bulan dai jadwal rilis di Amerika bisa membuat penonton malas dan bosan menunggu kehadiran Step Up 3D di bioskop serta lebih memilih untuk menyaksikannya di DVD saja.

Overall, film Step Up 3D adalah sebuah film yang cukup ditunggu oleh kalangan pecinta film bergenre dance dan juga fans berat dwilogy Step Up. Kelihatannya faktor cerita bukanlah sebuah hal yang perlu dipikirkan oleh pencipta film ini, namun lebih ke arah faktor special efek serta koreografi dance nya saja yang lebih ditingkatkan dan lebih dibuat kreatif. Yah, mari kita berharap saja agar filmnya tidak menampilkan efek 3D yang jelek, murahan, dan membuat penonton tertipu serta jengkel. Namun apapun penilaian finalnya nanti, film Step Up 3D minimal harus diberi sedikit apresiasi akibat keberaniannya untuk menggunakan teknologi 3D dalam film bergenre dance. So, bagi anda yang memang butuh film ringan dengan pace yang cepat, menarik, dan juga penuh dengan hingar bingar musik yang menghentak dan juga koreografi dance yang keren, atau memang anda penggemar berat dwilogy film Step Up atau fans berat film – film bertema dance, maka film Step Up 3D bisa menjadi pilihan untuk anda tonton minggu ini. Akhir kata, selamat menonton, and, KEEP DANCING, FELLAS!!!

Copyright : Alexander ”Ajay” Dennis

Trailer :



Review
Eat Pray Love (
Columbia Pictures_2010 )



Pemain :
  • Julia Roberts as Elizabeth Gilbert
  • Javier Bardem as Felipe
  • Billy Crudup as Steven
  • Richard Jenkins as Richard
  • Viola Davis as Delia
  • James Franco as David
  • Christine Hakim as Wayan
  • Hadi Subiyanto as Ketut Liyer

Sutradara : Ryan Murphy

Rilis =
  • 13 Agustus 2010 ( Amerika Serikat )
  • 13 Oktober 2010 ( Main di Bioskop Indonesia )

Julia Roberts adalah aktris Amerika yang pernah memegang predikat sebagai America’s Sweetheart akibat peran – perannya yang begitu total dalam film – film bergenre komedi romantis di perfilman Hollywood. Bermula dari kesuksesan film Pretty Woman di tahun 1990 bersama aktor ganteng Richard Gere yang membawa dirinya masuk dalam bursa perebutan piala Oscar dalam Nominasi The Best Actress ( walaupun kalah dari aktris Kathy Bates ) pada tahun tersebut, Julia pun kemudian sukses membintangi beberapa judul film komedi romantis seperti My Best Friend’s Wedding, Runaway Bride, Notting Hill, serta America’s Sweetheart. Walaupun begitu, aktris yang satu ini juga tidak terjebak dalam peran – peran tipikal seperti ini saja. Buktinya, Julia juga berani untuk mengambil peran – peran yang berbeda dengan genre favoritnya, yaitu komedi romantis. Sebut saja film thriller Sleeping with the Enemy, action thriller Conspiracy Theory, drama berbobot Erin Brockovich ( yang membuahkannya sebuah piala Oscar sebagai The Best Actress pada tahun 2000 silam ), hingga dwilogy film The Ocean’s Gang, yaitu Ocean’s Eleven dan Ocean’s Twelve. Walaupun beberapa tahun terakhir karir Julia naik turun akibat sibuk mengurus rumah tangganya, Julia pun mencoba kembali bangkit di tahun 2010 ini lewat penampilannya yang numpang lewat dalam film Valentine’s Day, serta tentunya, film yang akan kita bahas ini, yaitu Eat Pray Love. Lalu, bagaimanakah kualitas akting dari aktris yang biasa digaji sekitar US$ 20 – 25 juta per-filmnya ini? Apakah cukup memuaskan di hati penonton? Dan, bagaiman dengan kualitas filmnya sendiri? Apakah cukup bagus dan mengena di hati penonton? Mari kita bahas satu per-satu.

Film Eat Pray Love ini menceritakan tentang seorang wanita bernama Elizabeth Gilbert ( Roberts ), seorang wanita karier sukses yang sedang mengalami dilema dalam kehidupannya. Awalnya, dia memiliki segalanya : suami yang baik hati, kehidupan mapan, serta karier yang sukses. Namun suatu ketika, semua hal tersebut sirna begitu saja dan Liz pun mengalami depresi yang sangat luar biasa. Hidupnya hampa dan diapun juga kehilangan arah untuk melanjutkan hidupnya. Hingga akhirnya, dia memiliki sebuah ide nekad untuk melakukan perjalanan ke tiga negara yang berbeda dengan tujuan untuk menyembuhkan luka batinnya, mencari ketenangan hidup, serta menata kembali hidupnya yang berantakan. Dengan mempertaruhkan segalanya yang ia miliki, dimulailah perjalanan Liz ke tiga negara berbeda, yaitu Italia, India, dan juga Bali. Di Italia, dia berencana untuk makan sepuasnya, belajar memasak, hingga belajar cara menikmati hidup ala orang Italia; di India, dia berniat untuk memperdalam ilmu spiritual dalam dirinya; dan di Bali, dia berniat untuk melihat panorama indah, merayakan tahun baru disana, serta bertemu dengan seorang dukun spiritual baik hati, Ketut Liyer, untuk membimbing kembali kehidupannya. Lewat perjalanan ke tiga negara yang berbeda tersebut, Liz pun mengalami berbagai kejadian unik dan semakin menambah pembelajaran bagi dirinya agar bisa menjadi manusia yang utuh dan lebih kuat lagi untuk kedepannya. Lewat petualangan inilah, Liz bisa menambah banyak teman dari berbagai negara. Namun, apakah semua itu benar – benar membuat Liz merasa menjadi manusia yang utuh kembali? Hingga akhirnya, ada suatu kejutan yang tak disangka – sangka olehnya yang membuat hidupnya kembali utuh.

Sebagai sebuah film drama, film Eat Pray Love dirasa cukup bagus dari banyak sisi. Film ini menawarkan sebuah konsep cerita yang lumayan bagus, yaitu tentang perjalanan seorang wanita bertualang ke 3 negara berbeda guna menemukan kembali semangat hidup serta menata kembali hidupnya yang hancur. Namun, jika kita mau teliti lebih dalam lagi, film ini sebenarnya tidak hanya bagus bagi kaum hawa saja, namun juga bagi kaum adam yang juga sedang memiliki permasalahan yang serupa. Sutradara Ryan Murphy yang memang sudah malang melintang sebagai sutradara spesialis seri TV drama Amerika terkenal seperti Nip/Tuck, Popular, hingga seri TV remaja yang sedang hit saat ini, yaitu Glee, berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dengan cara berhasil mengarahkan para pemain di film ini agar bisa bermain lepas serta mampu menunjukkan emosi dari masing - masing tokoh yang diperankan oleh masing - masing aktor. Murphy pun juga berhasil membagi screentime dari setting tempat film ini. Sepanjang 135 menit film ini bergulir, Murphy membagi rata screentime dari 4 setting tempat yang tertera di film ini, yaitu Amerika, Italia, India, dan Bali.

Tak cuma itu, Murphy yang bekerjasama dengan cinematographer Robert Richardson berhasil menangkap keindahan panorama dari 3 negara yang berbeda, yaitu Italia, India, dan juga Bali. Penonton diajak untuk menikmati keindahan - keindahan panorama serta menikmati suasana yang menjadi ciri khas masing - masing dari ketiga negara tersebut. Di Italia, kita bisa melihat berbagai bangunan tua bersejarah, panorama pedesaan dan perkotaan Italia yang indah, serta tentunya, menikmati keindahan serta kelezatan dari makanan - makanan Italia yang memang terkenal lezat dan menggoda selera tersebut. Selain itu, kita juga bisa mempelajari berbagai adat yang ada di Italia, seperti bagaimana caranya kita berekspresi dengan tangan kita saat menikmati makanan lezat, ketika sedang marah dan jengkel dengan seseorang dll, serta tentunya, belajar beberapa bahasa Italia. Di India, kita juga bisa melihat pemandangan kota India yang semerawut, berdebu, dan macet namun juga kental dengan suasana agama Hindu yang nampak damai dan juga mampu menenangkan jiwa. Di Bali, kita bisa melihat berbagai panorama keindahan khas bali, seperti pantainya yang eksotis, pegunungan yang indah, sawah yang menghijau, serta pemandangan khas Bali lainnya yang tentunya mampu menarik hati para penonton. Selain itu, original score musik di film inipun terasa hidup serta mampu untuk mengiringi berbagai adegan yang ada pada film ini. Ketika sedang dalam suana sedih, original score-nya berhasil menyampaikan perasaan sedih kepada para penontonnya; atau ketika sedang perasaan gembira, original score-nya berhasil menyampaikan perasaan gembira kepada para penontonnya. Kerja keras composer Dario Marianelli terbukti berhasil untuk mengikat emosi dan perasaan penonton terhadap adegan - adegan yang ada pada film ini.

Untuk para aktor dan aktrisnya, bisa dikatakan semua pemain bermain baik dan juga bagus. Julia Roberts cukup bermain total sebagai Liz Gilbert yang awalnya hidup penuh dengan kebahagiaan, namun akhirnya hancur dan berusaha untuk memulihkan hidupnya kembali. Memang masih belum sebaik ketika dia bermain sebagai Erin Brockovich dalam film Erin Brokovich memang, namun minimal Julia berhasil untuk menyampaikan rasa pedih, hancur, serta kehilangan yang dirasakan tokoh Liz Gilbert kepada para penonton dan hal tersebut cukup mengena di hati penonton. Ekspresi sedih, depresi, marah, kecewa, serta ( terkadang ) bahagianya mampu dirasakan penonton di film ini. Beberapa pemain pendukung film ini, seperti Javier Bardem, James Franco, Billy Crudup, Richard Jenkins, hingga Christine Hakim dan Hadi Subiyanto-pun bermain bagus di film ini. James Franco yang tahun ini memang sedang dalam masa keemasan dalam karier beraktingnya ini setelah September kemarin dipuji pada Festival Film Toronto 2010 dalam film 127 Hours ini, bermain cukup bagus sebagai David, kekasih Liz yang berprofesi sebagai aktor serta memiliki hubungan yang singkat dengan Liz sebagai bentuk pelarian Liz semata ketika menghadapi perceraian dengan suaminya. Billy Crudup yang tahun lalu bermain total sebagai Dr. Manhattan dalam film Watchmen, bermain cukup baik sebagai Steven, mantan suami Liz yang sebenarnya masih mencintai dirinya, namun akhirnya harus menerima kenyataan pahit diceraikan oleh Liz dan terlihat membenci Liz akibat hal tersebut. Sedangkan Richard Jenkins bermain meyakinkan sebagai Richard, seorang teman spiritual Liz di India yang memiliki masa lalu yang kelam dan pedih yang menyebabkan dirinya akhirnya mencari ketenangan di India serta berusaha untuk membimbing Liz agar bisa mendapatkan kedamaian hidup kembali. Christine Hakim, aktris senior kebanggan Indonesia, tetap seperti biasanya bermain bagus sebagai Wayan, seorang ahli jamu dan obat - obatan asal Bali yang membantu Liz menyembuhkan luka di kakinya akibat kecelakaan yang dialaminya di Bali serta memiliki masa lalu yang kelam dan mampu merebut simpati Liz untuk mau membantunya.

Namun, yang paling menonjol dalam film ini adalah pemeran Ketut Liyer, yaitu Hadi Subiyanto. Hadi yang sebenarnya bukan seorang aktor profesional ini justru mampu mencuri perhatian penonton lewat tokoh Ketut Liyer yang diperankan olehnya. Tokoh Ketut Liyer yang baik, bijaksana, serta lugu dan memiliki bahasa Inggris yang pas - pasan namun mampu dimengerti oleh semua orang ini justru berhasil menjadi penyegar dalam film ini. Siapa yang tidak tertawa melihat wajah lugu, baik hati, serta bijaksana Ketut Liyer dengan bahasa Inggrisnya yang pas - pasan dengan logat Bali yang cukup kental ( misalnya ketika dia berkata "See it with your your Liver ( hati )", bukannya Heart ( sama - sama artinya hati, namun dia menggunakan kata liver ketimbang heart. He3. XD) )? Pastinya, setiap kali tokoh Ketut muncul dalam screen, penonton pasti terhibur dan mampu merasakan kebijaksanaan dukun spiritual yang baik hati ini. Sebenarnya Hadi tidak bermaksud untuk melucu atau membuat penonton tertawa ketika dia muncul di layar, namun, apa daya. Dengan aktingnya yang pas, penonton pasti dibuat tertawa ketika menyaksikan scene dirinya dengan Liz. Namun, di sisi lain, sebenarnya kita juga bisa melihat bahwa Ketut adalah sosok bijaksana yang berusaha untuk membantu Liz untuk mendapatkan kembali keutuhan hidupnya serta sudah menganggap Liz sebagai anak kandungnya sendiri. Dan tak ketinggalan, aktor asal Spanyol, Javier Bardem, yang bermain total sebagai Felipe, seorang pengusaha asal Brazil yang tinggal serta mencintai Bali dan jatuh cinta dengan Liz di Bali. Logat bicaranya yang cukup Brazilian serta campuran Australia, dengan gerak - gerik mimik muka yang kikuk namun berwajah cukup tampan, serta adanya rasa hampa dan takut dalam dirinya akibat trauma masa lalunya, berhasil diperankan oleh Bardem dengan baik disini. Nampaknya, pilihan aktor yang baru saja menikah dengan aktris Penelope Cruz untuk berkomitmen di film ini ketimbang bermain di film Wall Street : Money Never Sleeps ini cukup benar dan terbukti, performanya tetap apik di film Eat Pray Love ini.

Overall, film Eat Pray love adalah sebuah film drama yang bagus, cerita yang menyentuh, dan juga didukung oleh permainan aktor dan aktrisnya yang bagus serta total dan dukungan dari segi teknis yang memukau, khususnya dalam hal visualisasi keindahan alam serta suasana 3 negara yang ada pada film ini. Semua cast and crew film ini berhasil bekerja secara total dengan tujuan tak hanya untuk menghibur penonton saja, namun juga berusaha untuk menyentuh hati penonton lewat perenungan yang ada pada film ini. Lewat film ini kita diajak untuk merenung sejenak, apakah memang hidup kita sudah lengkap? Atau ada hal yang terasa hilang? Lalu, bagaiman caranya kita menjalani hidup ketika kita berada di persimpangan jalan atau sedang tertimpa permasalahan yang berat? Lewat film ini, minimal kita bisa menjadikannya sebagai referensi bagi kita untuk berpikir dan merenung atau mungkin bisa menjadi inspirasi bagi kita agar bisa menyelesaikan semua permasalahan hidup dan menjadikan diri kita lebih baik lagi. Diluar pro dan kontra film ini di Amerika sana, bahwa film ini terlihat sebagai bentuk narsisme semata dari pengalaman sang penulis, atau media Italia yang kurang sreg dengan penggambaran budaya Italia di film ini, atau juga kenyataan bahwa film ini terlambat dirilis di negara kita ( jika anda masuk ke official website-nya, Blu-Ray dan DVD original film ini sudah bisa dipesan loh ), namun Eat Pray Love adalah salah satu bentuk film drama yang mampu menghibur penonton dari berbagai sisi, khususnya sisi cerita dan juga hiburan. So, bagi anda yang sedang berada di persimpangan jalan dalam hidup anda, atau sedang mengalami kesulitan yang amat sangat, atau memang butuh film pencerahan dalam hidup anda, atau memang sedang butuh film drama menghibur yang berbobot, maka Eat Pray Love adalah film yang WAJIB untuk anda tonton minggu ini. So, akhir kata selamat menonton, dan mari kita belajar untuk berani menghadapi masalah yang ada pada hidup kita lewat film ini, sesuai dengan tagline filmnya: "When something is missing in your life, risk everything and let yourself......GO!!" atau "Have You Lost Touch with who you are?? Then risk everything and let yourself........GO!!!". He3. :).


Point :

Cerita = 7 / 10
Pemain = 8 / 10


Kriteria khusus :

Original Score = 8 / 10

Pesan Cerita = 8 / 10

Sinematografi = 8 /10

Total = 8 / 10


Trailer 1:



Trailer 2:



Copyright : Alexander ”Ajay” Dennis

Jumat, 08 Oktober 2010

Review The Other Guys


Review

The Other Guys ( Columbia Pictures_2010 )

Pemain :

  • Will Ferrell as Detective Allen Gamble
  • Mark Wahlberg as Detective Terry Hoitz
  • Eva Mendes as Dr. Sheila Ramos Gamble
  • Dwayne “The Rock” Johnson as Detective Christopher Danson
  • Samuel L. Jackson as Detective PK Highsmith
  • Michael Keaton as Captain Gene Mauch
  • Steve Coogan as David Ershon

Sutradara : Adam McKay

Rilis =

  • 6 Agustus 2010 ( Amerika Serikat )
  • 6 Oktober 2010 ( Main di Bioskop Indonesia )

Di dunia perfilman, New York City sering digambarkan sebagai kota yang sibuk, selalu bergerak, dan memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi. Oleh sebab itulah, kepolisian di kota yang sering disingkat NY itu selalu bekerja keras untuk memecahkan kasus – kasus kriminal yang ada. Tak cuma itu saja, polisi – polisi yang ada pada film dengan background setting NY tersebut pun juga merupakan polisi – polisi tangguh, sakti, dan tak ada matinya. Salah satu contoh polisi NY yang tangguh adalah John McClane dari seri film Die Hard. Nah, kali ini, bagaimana jika polisi yang menjadi tokoh utama adalah sepasang polisi bodong yang tidak ada mirip – miripnya sama sekali dengan McClane, malah cenderung lebih memble dan lebih lemah ketimbang McClane? Apakah NY akan menjadi kota teraman dengan penjagaan dari polisi macam itu? Well, kejadian itulah yang terjadi pada film action komedi buddy cop terbaru produksi Columbia Pictures, yaitu The Other Guys.

Film ini bercerita tentang 2 pasang polisi yang saling berbeda sifat, berbeda karakter, dan berbeda kemampuan antara 1 pasang dengan pasangan yang lain. Pasangan polisi Detectives Danson (Dwayne Johnson) dan P.K Highsmith (Samuel L. Jackson) adalah pasangan polisi tangguh, terkenal, dan juga diidolakan oleh masyarakat kota New York. Mereka tak segan untuk melakukan berbagai aksi nekad bin ajaib layaknya polisi – polisi di film – film action produksi Hollywood. Kejar – kejaran, tembak – tembakan, baku hantam, dan masih banyak adegan extreme lainnya yang berani mereka lakukan demi menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum New York City. Sedangkan pasangan polisi Detective Allen Gamble (Will Ferrell) dan Detective Terry Hoitz (Mark Wahlberg) adalah pasangan detektif yang berbeda 180 derajat dengan Danson dan Highsmith. Terry dan Allen adalah sepasang polisi pecundang yang lebih banyak berkutat dengan tugas – tugas ke-arsipan kepolisian ketimbang beraksi di jalanan. Tak seperti Allen yang senang mengerjakan tugas – tugas terebut, polisi muda Terry lebih suka beraksi di jalanan ketimbang menjalankan pekerjaan kearsipan polisi yang membosankan tersebut. Namun suatu ketika, ada kasus yang menghampiri mereka yang bisa menaikkan kesempatan mereka untuk beraksi di jalanan, yaitu kasus mengenai sebuah pelanggaran ijin bangunan yang melibatkan sebuah multimilioner bernama David Ershon ( Steve Coogan ), pengusaha terkenal di New York. Namun, dari kasus yang awalnya sederhana inilah, akhirnya Allen dan juga Terry merasakan keras dan brutalnya beraksi di jalanan dan tentunya, tidak seperti yang mereka perkirakan seperti di film – film action Hollywood. Lantas, berhasilkah mereka menyelesaikan kasus ini, ketika polisi harapan New York, yaitu Danson dan Highsmith tidak bisa melaksanakan tugas tersebut? Keamanan New York City akan diuji oleh ulah konyol dan nekad sepasang polisi minim pengalaman dalam menjalankan misi di jalanan!

Film The Other Guys ini merupakan kolaborasi untuk keempat kalinya antara aktor-komedian Will Ferell dengan sutradara Adam McKay. Sebelumnya, dua orang yang berkecimpung di dunia komedi ini telah menghibur penonton lewat film Anchorman : The Legend of Ron Burgundy pada tahun 2004; Talladega Nights: The Ballad of Ricky Bobby pada tahun 2006; dan Step Brothers pada tahun 2008. Ketiga film tersebut dengan sukses meraih pendapatan diatas US$ 80 juta. Dari data diatas, minimal kita bisa melihat bahwa film – film yang merupakan hasil kolaborasi kedua komedian ini ternyata lawakannya bisa diterima oleh pangsa pasar Amerika. Dan terbukti, film The Other Guys ternyata mampu diterima oleh penonton Amerika disana berkat performa film ini di tangga Box Office yang ternyata cukup baik. Hingga berita ini diturunkan, film ini meraih pendapatan sebesar US$ 117 juta untuk peredaran di Amerikanya saja. Namun, kelihatannya film ini kurang begitu berbicara banyak untuk pasaran di luar Amerika. Well, bisa dikatakan memang film ini sebenarnya memiliki humor yang kurang pas bagi pasar di luar Amerika. Lawakannya tergolong slapstick dan juga lebih bermain ke arah lawakan permainan kata yang lebih dimengerti oleh masyarakat Amerika. Untuk memahami lawakan di film ini, minimal kita harus mengetahui mengenai perkembangan terbaru serta isu – isu yang terjadi di Amerika serta mencerna humor mengenai permainan perbendaharaan kata yang ada di Amerika tersebut. Banyak kalimat slang yang mungkin tidak begitu dimengerti oleh penonton di luar Amerika, sehingga lawakan yang tadinya hendak ditujukan untuk menghibur penonton, malah tidak tepat sasaran. Akibatnya, ujung – ujungnya penonton di luar Amerika hanya bisa menikmati adegan lawak slapstick yang ada di film ini. Imbasnya, mungkin bagi kalangan di luar Amerika, film The Other Guys kering dalam hal mengocok perut penonton akibat banyaknya guyonan yang kurang atau bahkan mungkin tidak dimengerti oleh penonton.

Dari segi permainan para aktor dan aktrisnya, bisa dikatakan ssemuanya bermain biasa saja. Will Ferrel tetap bermain seperti biasa. Walaupun secara mengejutkan dia bermain cukup serius dari awal hingga menjelang ¾ film, namun selanjutnya, dia kembali bermain gila – gilaan seperti yang biasa dia perlihatkan pada film – film komedinya. Untuk Mark Wahlberg, aktor yang akhir – akhir ini mulai berani untuk menjajal kemampuan aktingnya dengan mencoba memainkan berbagai karakter yang berbeda ini ternyata bermain tidak selucu dan semenghibur yang diharapkan oleh penonton. Aktor yang dulu dikenal sebagai seorang rapper liar bernama panggung Marky Mark ini bermain canggung di film ini. Entah karena lawakannya yang memang kurang mengena atau memang dia canggung untuk berpasangan dengan Will Ferrell di film ini, akhirnya Mark justru hanya bisa menunjukkan akting dia yang biasa, yaitu keras dan tangguh seperti peran – peran polisi yang diperankan olehnya akhir – akhir ini. Walaupun sudah bermain keras dan juga tangguh, sayangnya permainannya tidak se-memorable ketika penonton melihatnya berakting mantap di film The Departed atau ketika dia tampil di film Max Payne dan Shooter. Bahkan, pada debut lawak yang keduanya ini, justru dia tidak bermain sekeren ketika dia tampil mencuri perhatian penonton ( khususnya kaum hawa ) dalam film action comedy romance Date Night. Ya, ketika Wahlberg tampil di film Date Night, dia berhasil mencuri perhatian penonton lewat tampilan shirtless, tampan, pintar, dan juga playboy sejati lewat karakter hacker jenius bernama Holbrooke Grant yang sangat pas diperankan olehnya. Justru di film Date Night itulah, Mark bermain lepas sebagai komedian.

Aktor Michael Keaton sebenarnya mampu untuk mencuri perhatian di film ini akibat perannya sebagai Kapten Mauch yang sering sekali mengutip kalimat – kalimat yang ada pada lirik lagu TLC ( khususnya lagu No Scrub ), namun ternyata dia kurang bermain maksimal di film ini. Selain itu, screentime-nya tergolong kurang untuk menonjolkan kemampuan humornya. Aktor keras Ray Stevenson bermain cukup meyakinkan sebagai tokoh antagonis utama yang bisa tampil ngebodor juga di tengah – tengah kekejamannya, walaupun masih kalah kharisma dibanding permainan aktor Mark Strong dalam film Kick Ass dengan karakter yang hampir mirip. Strong justru bisa dengan meyakinkan menampilkan sosok kriminal kejam tanpa ampun namun juga bisa menunjukkan sisi blo’on nan kocak pada saat yang bersamaan dalam film Kick Ass. Yang berhasil mencuri perhatian penonton dalam film ini adalah duet aktor multitalenta Dwayne “The Rock” Johnson dan juga Samuel L. Jackson yang bermain meyakinkan sebagai pasangan polisi tangguh Detectives Danson dan P.K Highsmith. Mimik muka keduanya yang serius namun juga terlihat bodoh, pembawaan diri mereka yang penuh percaya diri, fisik mereka yang tegap kekar, serta suara mereka yang keras berwibawa memang mencerminkan sosok pasangan polisi tangguh. Namun, dibalik ketangguhannya itu, terdapat unsur nekad penuh kebodohan yang akhirnya membuat mereka tidak bisa menyelesaikan kasus yang ditangani Hoitz dan juga Gamble. Tindakan mereka tersebut adalah adegan pemancing tawa paling efektif selama film The Other Guys ini bergulir dan penonton pun bisa dibuat tertawa lepas sekaligus heran dengan tindakan gila – gilaan mereka tersebut. Namun, moment itulah yang mampu mencuri perhatian penonton. Aktris Eva Mendes? Ah, dia hanya tampil sebagai tokoh pemanis tempelan biasa. Sedangkan duet aktor Damon Wayans Jr. dan juga Rob Riggle justru merupakan perusak film ini dan bisa membuat penonton jengkel serta pusing dengan kehadiran mereka sehingga seakan – akan ingin unuk menyingkirkan mereka secepatnya dari film ini. Steve Coogan yang berperan sebagai David Ershon, pemilik bangunan dengan IMB bermasalah, bermain tidak sekocak ketika dia tampil bersama Ben Stiller dan kawan – kawan di film Tropic Thunder, dimana Coogan berperan sebagai sutradara stress sekaligus linglung yang lucu dan mampu membuat penonton tertawa kala itu.

Overall, film The Other Guys adalah film komedi yang bermaksud untuk memancing tawa penonton lewat permainan komedi kedua aktor utamanya, yaitu Mark Wahlberg dan juga Will Ferrell. Namun, chemistry pasangan ini tidak terasa hawa humornya serta kurang pas. Lebih parahnya lagi, justru chemistry dan humor pasangan tersebut masih kalah dengan chemistry dan humor dari pasangan The Rock dan Samuel L. Jackson yang walaupun hanya sebentar, namun cukup menghibur dan menjadi juru selamat film ini. Kolaborasi Ferrell dan McKay kali ini memang tidak segila kedua film mereka sebelumnya, yaitu Anchorman dan juga Talladega Nights yang super miring, kocak, dan gila – gilaan. Sejak film Step Brothers, kualitas kolaborasi keduanya terlihat menurun, dan lebih diperparah lagi dengan kolaborasi mereka tahun lalu dalam film Land of the Lost yang garing dan juga tidak menghibur penonton. Kali ini, lewat The Other Guys, mereka bisa dikatakan kembali gagal untuk memancing tawa penonton berkat lawakan – lawakannya yang garing serta terlalu segmented. Namun begitu, film ini minimal tidak seburuk film bertema serupa yang dirilis pada awal tahun lalu, yaitu Cop Out yang hancur lebur. Namun, pertanyaan tetap dilemparkan kepada para penonton : apakah anda tetap bisa dan mau untuk menonton film The Other Guys dengan kualitas semacam ini? Atau anda lebih menunggu untuk menonton filmnya lewat DVD saja? Well, keputusan tetap ada di tangan anda. Jika anda memang penggemar lawakan khas Amerika atau penggemar berat karya – karya Ferrell dan McKay, maka fim ini boleh untuk ditonton. Namun, jika semua hal tersebut justru tidak cocok bagi anda, maka sebaiknya anda menghindari menonton film ini di bioskop dan lebih baik untuk menontonnya di DVD. Akhir kata, selamat memilih dan selamat menonton.

Point :

Cerita = 5 / 10

Pemain = 5 / 10

Kriteria khusus :

Humor = 5 / 10

Unsur Hiburan

dan action = 4 /10

Total = 5 / 10


NB : Setelah selesai menonton filmnya, ada baiknya anda menyaksikan credit scene nya yang informatif, menarik, dan menyinggung pemerintahan Amerika tentang krisis ekonomi yang mereka alami.

Copyright : Alexander ”Ajay” Dennis

Motion Poster:


Theatrical Trailer:


Jumat, 01 Oktober 2010

Review Wall Street : Money Never Sleeps ( Wall Street 2 )


Review

Wall Street : Money Never Sleeps ( a.k.a Wall Street 2 ) ( Columbia Pictures_2010 )

Pemain :

  • Michael Douglas as Gordon Gekko
  • Shia LaBeouf as Jacob "Jake" Moore
  • Josh Brolin as Bretton James
  • Carey Mulligan as Winnie Gekko
  • Frank Langella as Lewis Zabel

Sutradara : Oliver Stone

Rilis =

  • 24 September 2010 ( Amerika Serikat )
  • 1 Oktober 2010 ( Main di Bioskop Indonesia )

“Greed is Good”. Yap. Anda yang familiar dengan film – film tahun 1980-an, pasti mengenal qute terkenal dari film Wall Street tersebut. Ya. Tokoh Gordon Gekko yang diperankan oleh Michael Douglas-lah yang mempopulerkan ucapan sakti mandraguna tersebut, dan tetap populer hingga sekarang. Lewat tokoh Gordon Gekko pula, Douglas meraih piala Oscar pertamanya. Permainan Douglas yang sangat berkharisma sebagai tokoh Gordon Gekko yang licik dan juga pintar dalam adu strategi mengenai permainan manipulasi keuangan mampu membuat juri – juri Oscar jatuh hati dengan akting Douglas dan tak ragu menghadiahinya sebuah Piala Oscar sebagai The Best Actor pada tahun 1987 silam. Karakter Gekko pun bukan hanya menjadi favorit kalangan kritikus dan juri Oscar saja, namun juga banyak warga Amerika yang sangat mengidolakan sosok investor ambisius tersebut. Lewat film Wall Street pula, sutradara Oliver Stone semakin mengukuhkan dirinya sebagai sutradara pintar dan juga berbakat untuk mengangkat isu – isu sensitif yang ada di Amerika. Aktor muda saat itu, Charlie Sheen pun juga angkat nama lewat film ini dan membuatnya menjadi seorang aktor yang sangat diperhitungkan saat itu. Namun, tidak semua pemain di film ini bersinar. Aktris Daryl Hannah pun justru dicaci maki oleh para kritikus akibat aktingnya yang buruk di film tersebut, serta dengan sukses menggondol piala Razie Award sebagai Worst Supporting Actress tahun itu. Kini, 23 tahun berselang sejak film Wall Street pertama beredar, maka muncul sekuelnya yang berjudul Wall Street : Money Never Sleeps atau sering disebut juga dengan Wall Street 2. Sutradara Oliver Stone kembali duduk di kursi sutradara untuk mengarahkan film ini, setelah 23 tahun yang lalu dia mengarahkan film Wall Street yang pertama. Dengan dukungan Michael Douglas, serta aktor muda Shia LaBouf serta aktris muda Carrey Muligan dan aktor watak Josh Brolin, penonton pastinya bertanya – tanya tentang film ini : “Is Greed Still Good?”

Sebelum masuk ke penilaian, mari kita lihat dulu sinopsis filmnya. Ceritanya bersetting 21 tahun setelah film Wall Street pertama berakhir. Gordon Gekko ( Douglas ) baru menghirup udara segar setelah menjalani hukuman di penjara selama 8 tahun akibat kasus korupsi dan kasus – kasus kriminal keuangan lainnya yang dilakukan olehnya tempo dulu. Gordon sempat memperingatkan masyarakat Amerika tentang kemungkinan jatuhnya perekonomian Amerika dalam waktu dekat namun hal itu sayangnya tidak disadari oleh siapapun. Perkiraan Gordon ternyata terbukti tepat dan perekonomian Amerika pun anjlok pada tahun 2008 silam. Gordon kali ini berusaha untuk menembus kembali rimba Wall Street yang menjadi favoritnya dengan tujuan untuk mendapatkan kembali kejayaannya di pasar saham terkenal di Amerika tersebut. Namun, hal tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah akibat terjadinya berbagai perubahan dan juga hal teknis mengenai perekonomian Amerika. Namun, bukan Gordon Gekko namanya jika tidak bisa beradaptasi dengan keadaan lingkungan sekitar dengan cepat. Suatu ketika, seorang pialang saham muda berbakat bernama Jacob “Jake” Moore ( LaBeouf ) bertemu dengan Gordon dan mengatakan bahwa dia berpacaran dengan putri Gordon, Winnie Gekko ( Muligan ). Gordon berencana untuk memperbaiki hubungan serta berusaha untuk mendapatkan permintaan maaf dari sang anak semata wayangnya tersebut. Jake pun ternyata memiliki tujuan tersendiri mengenai hubungannya dengan Gordon. Jake berupaya untuk membongkar kasus pembunuhan mentor Wall Street yang dihormatinya, Lewis Zabel ( Langella ). Jake sebenarnya menaruh kecurigaan terhadap seorang CEO dari perusahaan Churchill Schwartz bernama Bretton James ( Brolin ). Namun dia tidak memiliki cukup bukti untuk menyeret Bretton ke meja hijau. Jake mengetahui sepak terjang Gordon di Wall Street tempo dulu serta mengetahui bahwa Bretton ternyata memiliki hubungan yang pahit dengan Gordon 23 tahun silam. Jake meminta Gordon untuk membantu dirinya menyeret Bretton ke meja hijau sebagai bentuk balas dendam terhadap kematian mentornya, Lewis Zabel. Akhirnya, dimulailah permainan strategi Gordon dan juga Jake untuk mencapai tujuan mereka masing – masing : Gordon berusaha menjalin hubungan baik kembali dengan Winnie; Jake berusaha untuk menyeret Bretton ke meja hijau. Penuh intrik, strategi, kejutan, dan juga tipu daya yang menarik untuk disaksikan dalam film ini.

Sebagai sebuah film, film Wall Street 2 justru tidak kalah dengan pendahulunya. Cerita yang solid dan tidak menjemukan, banyaknya intrik politik dan ekonomi yang seru dan juga adu strategi yang terjadi dalam film ini, drama yang kuat, permainan aktor dan aktrisnya yang matang, serta kejutan – kejutan yang ada dalam film ini membuat film ini kuat dalam hal cerita dan juga eksekusi cerita sehingga film berdurasi 2,5 jam ini terasa enak untuk diikuti. Film ini secara cerdik juga mengambil setting waktu yang pas, yaitu pada saat kejatuhan perekonomian Amerika pada tahun 2008 silam. Disinilah kelihaian seorang Oliver Stone dalam mengolah cerita sebuah film yang diangkat berdasarkan isu sensitif yang terjadi di negaranya. Secara cerdik, sang sutradara berusia 64 tahun ini mengemasnya menjadi sebuah film dengan cerita yang enak untuk diikuti serta mampu memancing rasa kepenasaran penonton akibat setting waktu kejadiannya yang terbilang up-to-date dan pas. Stone berhasil menggambarkan secara jelas bagaimana proses terjadinya kejatuhan perekonomian Amerika, terjadinya ketegangan di meja perkumpulan para pemilik perusahaan dan juga investor yang berpengaruh pada perekonomian Amerika, serta efek kejatuhan perekonomian Amerika tersebut bagi masyarakat Amerika. Hebatnya, Stone mampu mengolah hal – hal tersebut dengan ringan serta mampu membuat penonton merasakan atmosfer ketegangan yang ada pada film ini. Misalnya ketika terjadi ketegangan selama rapat direksi berlangsung demi pemulihan perusahaan Keller Zabel dan juga ketika perekonomian Amerika jatuh, Stone berhasil memberikan sebuah atmosfer stress tingkat tinggi serta adu argumen yang terjadi pada saat board meeting tersebut ke hadapan penonton. Selain itu, penonton pun juga bisa melihat proses terjadinya kehancuran perekonomian Amerika secara jelas dan juga nyata. Riset dan juga diskusi yang dilakukan oleh Stone terhadap ketiga orang yang ahli dalam hal seluk beluk perekonomian Amerika, yaitu Samuel D. Waksal, Nouriel Roubini, dan Jim Chanos, terbukti ampuh untuk memberikan kesan nyata kepada penonton terhadap kejatuhan perekonomian Amerika tahun 2008. Ditambah dengan kehadiran penulis naskah Allan Loeb yang juga merupakan seorang licensed stock broker dalam dunia nyata, membuat cerita di film ini semakin solid dan juga nyata bagi para penontonnya.

Point penting keberhasilan film ini juga terletak pada semua pemain kunci di film ini yang bermain luar biasa bagus. Shia LaBouf yang biasanya bermain sebagai pemuda culun atau pemuda jagoan dalam setiap filmnya, kali ini tampil cukup matang sebagai pialang saham muda idealis sekaligus salah seorang pendiri sebuah perusahaan penelitian yang memakai konsep green energy bernama Jacob “Jake” Moore. Bagaimana cara dia mempresentasikan portofolio perusahaan miliknya kepada para investor China agar mau menanamkan modalnya, etika bisnis yang dipelajarinya lewat sang mentor, dan hubungan baik dengan sang mentor seperti layaknya ayah dengan anak membuat kita bisa melihat, bahwa LaBeouf bermain matang dan dewasa dalam film ini. Michael Douglas tak perlu diragukan lagi, memang dia adalah nyawa dari Gordon Gekko, seorang pialang saham dan juga investor yang dihukum penjara selama 8 tahun dan berusaha untuk mendapatkan pengampunan dosa dari putrinya Winnie Gekko. Douglas tetap memainkan karakter Gordon dengan apik. Disini, kita melihat sosok Gordon yang berusaha untuk mengembalikan hubungan baiknya dengan putri satu – satunya, namun tetap dengan karakter asli Gordon 23 tahun silam : tenang, penuh perhitungan, licik, dan tidak pernah bisa diduga oleh siapapun. Chemistry Gordon dan Jake di film ini dirasa pas dan juga cukup baik, layaknya film Wall Street 23 silam. Seperti yang sudah disebutkan diatas, akibat permainan Douglas yang apik dan juga LaBeouf yang matang, membuat hubungan kedua aktor beda generasi ini sangat enak untuk diikuti dan juga seperti layaknya hubungan antara mentor dengan junior yang akrab dan saling membantu satu sama lain. Carey Muligan bermain bagus sebagai putri Gordon satu – satunya, Winnie Gekko, yang sangat membenci sang ayah, namun di dalam hatinya, masih memiliki rasa untuk memaafkan dosa – dosa yang pernah dibuat sang ayah. Chemistry Muligan dengan dengan LaBouf di film ini terasa serasi, romantis, dan juga pas, di luar kenyataan bahwa mereka memang pacaran di dunia nyata ( LaBouf dikabarkan mengalami cinlok alias CINta LOKasi dengan Muligan pada saat berperan dalam film ini ). Dan, aktor Josh Brolin dalam film ini juga berhasil bermain meyakinkan sebagai Bretton James, sosok CEO yang ambisius, namun juga kejam dan juga pintar serta penuh dengan dendam dan rela untuk menghancurkan siapapun yang pernah menyakiti dirinya atau yang menghalangi jalannya mencapai kesuksesan. Mimik mukanya yang keras, tegas, serta terkesan tanpa ampun membuatnya tampil meyakinkan sebagai tokoh Bretton James. Keempat aktor dan aktris utama ini bisa saling berinteraksi dengan meyakinkan satu sama lain dan terkesan klop ketika bertemu dalam satu layar. Penonton pun bisa merasakan interaksi yang hidup antara keempat aktor dan aktris utama ini. Misalnya ketika adegan Bretton bertemu muka dengan Gordon dan tensi memanas diantara kedua orang investor handal di Wall Street 23 tahun silam. Disini penonton bisa merasakan tensi ketegangan serta kesinisan dua orang yang sangat berpengaruh dalam perekonomian Amerika tersebut. Atau ketika adegan Gordon bertemu dengan putrinya lagi, Winnie, sehingga penonton bisa merasakan masih adanya rasa untuk saling menyayangi serta saling memaafkan satu sama lain. Chemsitry keempat aktor dan aktris utama inilah yang menjadi penonton nyaman untuk menonton film ini. Di sisi lain, kehadiran sekilas aktor pendukung Charlie Sheen sebagai Bud Fox ( tokoh utama dalam film Wall Street pertama yang menjebloskan Gordon ke dalam penjara ) dalam film ini terasa menyegarkan suasana dan juga mengingatkan kita kepada chemistry kedua tokoh yang pernah saling menjalin kerjasama namun akhirnya saling menghancurkan ini. Penonton bisa melihat bagaimana mereka berdua sangat kikuk serta saling sirik di film Wall Street 2 ini dan hal tersebut terasa cukup mengena di hati penonton, walaupun hanya berdurasi sekitar 2 menit. Namun, hal inilah yang ditunggu oleh penonton dan terbukti, scene 2 menit ini ampuh untuk mengingatkan nostalgia penonton terhadap film Wall Street pertama serta mampu menjawab rasa kepenasaran penonton terhadap pertemuan kedua tokoh tersebut.

Walaupun film Wall Street 2 ini memiliki banyak point plus seperti yang disebut diatas, film ini sebenarnya memiliki sebuah halangan terbesar yang berpotensi membuat penonton enggan untuk menyaksikannya. Hal tersebut adalah tema cerita filmnya yang mungkin bagi sebagian orang tidak menarik untuk disaksikan. Memang harus diakui, filmnya memiliki tema cerita berbobot yang penuh dengan intrik politik ekonomi, alur cerita yang cenderung lambat, adu cerdik dan tipu daya, serta unsur drama yang kental dan juga durasi yang panjang, yaitu 2,5 jam. Hal – hal seperti inilah yang mampu membuat penonton rela untuk berpikir berulang kali untuk mau menyaksikan film ini di bioskop, apalagi jika memang mereka yang hanya mencari sebuah film untuk hiburan semata. Pastinya, bisa dikatakan segmentasi penonton dengan tema cerita seperti ini terhitung terbatas dan tidak semua orang bisa menikmati film dengan cerita seperti ini.

Overall, film Wall Street 2 adalah film yang bagus dan juga berbobot. Jika mau dibandingkan dengan film Wall Street pertamanya, film Wall Street 2 terhitung sebagai sebuah film sekuel yang masih bisa mengimbangi film Wall Street pertamanya, bahkan, jika mau ditilik lebih jauh, film Wall Street 2 ini terhitung sedikit lebih baik akibat permainan semua aktor dan aktris utamanya yang bermain bagus dan total, tidak seperti film Wall Street pertama, dimana aktris Daryl Hannah bermain mengecewakan sebagai kekasih tokoh Gordon dan juga Bud Fox. Namun, di sisi lain, film dengan tema cerita seperti Wall Street adalah film yang memang memiliki segmentasi penonton yang terbatas. Harus diakui, bahwa film – film karya Oliver Stone adalah film – film yang mengangkat isu sosial yang terjadi di Amerika dan juga cenderung memiliki bobot cerita berat dan juga alur cerita yang tergolong berjalan lambat. Walaupun film – filmnya sebenarnya memiliki pesan sosial yang cukup menyinggung pemerintah Amerika sendiri dan bisa menjadi bahan perenungan bagi kita semua, dan juga Stone mampu mengemas setiap film produksinya menjadi sebuah film yang terasa ringan dan nyata ke hadapan penonton mengenai isu – isu sosial tersebut, namun tetap saja, genre film seperti ini adalah genre film yang akan dijauhi oleh penonton yang hanya ingin mencari hiburan semata untuk menonton film di bioskop. So, pilihan ada di tangan anda, apakah anda mau untuk menyaksikan film berbobot ini, atau justru meninggalkan film ini. Satu saran saya, anda sebaiknya menonton film Wall Street pertama, karena kedua film ini saling berhubungan, dan juga supaya anda terbiasa untuk menyaksikan alur film Wall Street ini. Lalu, jawaban untuk pertanyaan diatas : “Is Greed still Good?”, maka jawabannya adalah, “Yes It Is”. Wakakak. XD. Akhir kata, selamat menonton.

Point :

Cerita = 7 / 10

Pemain = 8 / 10

Kriteria khusus :

Bobot Cerita = 7 / 10

Pesan Cerita = 7 / 10

Unsur Hiburan = 6 /10

Total = 7 / 10

Copyright : Alexander ”Ajay” Dennis

Trailer 1:


Trailer 2:

Review Legend of the Guardians : The Owls of Ga'Hoole


Review

Legend of the Guardians : The Owls of Ga’Hoole ( Warner Bros Pictures_2010 )

Pemain :

  • Jim Sturgess as Soren
  • Geoffrey Rush as Ezylryb
  • Emily Barclay as Gylfie
  • Jay Laga'aia as Twilight
  • David Wenham as Digger
  • Hugo Weaving as Noctus/Grimble
  • Ryan Kwanten as Kludd
  • Sam Neill as Metal Beak
  • Helen Mirren as Nyra
  • Emilie de Ravin as Eglantine
  • Richard Roxburgh as Boron
  • Abbie Cornish as Otulissa

Sutradara : Zack Snyder

Rilis =

  • 24 September 2010 ( Amerika Serikat )
  • 29 September 2010 ( Main di Bioskop Indonesia dalam format 2D dan 3D )

Sebagai sebuah film animasi perdana karya sutradara Zack Snyder, apakah film Legend of the Guardians : The Owls of Ga’Hoole mampu untuk memikat semua kalangan, baik itu anak – anak, remaja, dan juga orang dewasa? Mari kita lihat reviewnya.

Film ini berkisah tentang Soren ( Sturgess ), sesosok burung hantu remaja yang sangat tertarik dengan sebuah legenda mitologi berjudul Guardians of Ga’Hoole, yaitu sebuah legenda tentang sekelompok burung hantu yang bersumpah untuk melindungi kerajaan burung hantu ( The Owl Kingdom ) beserta dengan penduduknya dari serangan pasukan burung jahat bernama The Pure Ones. Tak cuma menyukai cerita legenda itu saja, Soren pun bermimpi ingin menjadi salah seorang kesatria Ga’Hoole kelak ketika sudah dewasa nanti. Sang kakak, Kludd ( Kwanten ) pun benar – benar membenci Soren karena lewat mimpi sang adik tersebut, perhatian orang tuanya lebih tercurah kepada sang adik dibanding dirinya. Hingga akhirnya, Kludd dan Soren terjatuh dari sarang tempat mereka tinggal dan kemudian diculik oleh para anggota The Pure Ones dibawah komando seorang burung hantu jahat bernama Metal Beak ( Neill ) dan kekasihnya, Nyra ( Mirren ). Kakak beradik tersebut dibawa ke sebuah pulau yang asing dengan tujuan untuk dicuci otaknya supaya menjadi prajurit The Pure Ones dan bermaksud untuk menyerang serta menghancurkan The Owl Kingdom. Soren yang mengetahui hal tersebut berusaha kabur dari tempat tersebut ditemani dengan seekor burung hantu bernama Gylfie ( Barclay ). Soren berusaha untuk membujuk sang kakak, Kludd, untuk kabur bersama – sama. Namun, Kludd ternyata memilih untuk tetap bersama dengan Pure Ones. Ketika mereka lolos dari fasilitas tersebut, mereka bertemu dengan 2 ekor burung hantu, yaitu Twilight ( LaPaglia ) dan Digger ( Wenham ). Bersama, keempat burung hantu tersebut pun memulai petualangannya melewati lembah – lembah berbahaya serta melewati samudera yang ganas untuk mencari Guardians of Ga’Hoole serta menceritakan niat jahat The Pure Ones yang hendak menghancurkan The Owl Kingdom kepada Guardians of Ga’Hoole sebelum terlambat.

Film ini benar – benar patut diacungi 2 jempol akibat tampilan efek visual 3D nya yang sangat nyata dan juga berani untuk menampilkan warna – warna cerah yang indah serta warna gelap yang juga terasa indah. Aspek sinematografi film ini terasa brilliant dan juga bagus. Unsur pencahayaan, pewarnaan, serta efek 3D di film ini tergolong jempolan dan dikerjakan secara serius oleh tim animasi, special effect, dan 3D specialist dari studio visual effect Australia bernama Animal Logic. Studio visual effect ini memang sudah menunjukkan taringnya sebagai salah satu studio visual effect terbaik dalam kategori film animasi lewat film animasi yang menyabet Piala Oscar tahun 2006, Happy Feet. Kini, lewat film Legend of the Guardians : The Owls of Ga’Hoole, Animal Logic kembali membuktikan bahwa mereka bukanlah studio visual effect yang main – main dalam memproduksi film animasi. Terbukti, 3D film ini terasa jempolan. Penonton diajak untuk merasakan bagaimana rasanya ketika seekor burung terbang bebas di angkasa. Angle Shot yang pas untuk mengkuti setiap gerakan burung yang terbang di angkasa terasa bagus dan juga hidup ketika kita menonton filmnya dalam format 3D. Hal ini hampir mirip seperti kasus How to Train Your Dragon tempo hari, dimana kita bisa ikut merasakan bagaimana rasanya kita terbang bersama naga di angkasa. Dalam hal pewarnaan ama pencahayaan, Animal Logic juga berhasil memberikan komposisi pewarnaan dan pencahayaan yang indah dan solid. Akibat kedua hal tersebut, penonton bisa merasa feel warm, feel dark, feel hot ( pas adegan di hutan api ) dalam setiap adegan di film ini, apalagi ketika tokoh – tokoh burung tersebut terbang menyongsong matahari atau menyongsong badai di tengah – tengah samudera yang ganas. Akibatnya, penonton serasa melihat sunset atau sunrise atau juga serasa melihat badai secara nyata. Ketika Soren menerjang badai, bulir – bulir airnya terasa bagus dan nyata. Tak ketinggalan, ekspresi wajah para burung di film ini juga terkesan hidup. Mimik muka, warna bulu, serta gerakan bulu yang halus ketika diterpa angin adalah bukti bahwa animasi untuk setiap burung di film ini dikerjakan dengan serius dan tidak asal – asalan.

Untuk sektor pengisi suara, yang paling menonjol jelas adalah aktris Hellen Mirren yang mengisi suara Nyra. Suaranya yang keibuan namun juga licik dan kejam mampu dipersembahkan oleh aktris Inggris berusia 65 tahun ini. Pengisi suara Eglantine, yaitu Adrienne deFaria juga berhasil membuat penonton gemas dengan suaranya yang seperti anak kecil lucu nan menggemaskan. Aktor asal Australia, Sam Neill bertugas dengan cukup baik sebagai pengisi suara Metal Beak yang kejam dan tanpa ampun sebagai pemimpin The Pure Ones. Dan tak ketinggalan, rekan aktor Sam Neill yang sama – sama asal Australia, Hugo Weaving, kembali berhasil mengeluarkan suaranya yang khas dan penuh wibawa sebagai Noctus, ayah Soren, Kludd, dan Eglantine, dan juga Grimble, burung hantu yang membantu Soren serta Gylvie untuk kabur dari sarang The Pure Ones. Pengisi suara Kludd, Ryan Kwanten, sayangnya kurang hidup untuk mengisi suara Kludd, kakak Soren yang pencemburu dan tega untuk mengkhianati sang adik, Soren. Para pengisi suara yang lainnya bertugas biasa saja dan tidak ada yang menonjol.

Namun, dibalik kekuatan film ini yang terletak pada visual effect 3D serta sinematografi ( pencahayaan, pewarnaan, dan lain sebagainya ), film ini sayangnya lemah pada eksekusi cerita serta alur filmnya yang berjalan sedikit membosankan. Sebenarnya film ini memiliki moral lesson yang cukup banyak dan bisa menjadi bahan perenungan bagi kita semua yang menonton film ini. Kesetiaan, kekeluargaan, pengkhianatan, persaudaraan dengan saudara sekandung, dan rasa saling memaafkan satu sama lain adalah banyak pesan cerita yang sayangnya tidak digali lebih dalam di film ini. Hanya 1 pesan cerita yang digali lebih dalam dalam film ini, yaitu tetap percaya dan kejar mimpi yang anda miliki, dan hal tersebut bisa menjadi kenyataan jika mau berusaha dengan keras dan tetap percaya dengan mimpi tersebut. Padahal jika mau disinggung lebih dalam tentang pesan – pesan cerita yang lain tersebut, film ini akan terasa makin lengkap dan juga komplit. Mengenai alur ceritanya yang berjalan lambat dan membosankan, hal ini terjadi karena tidak diimbanginya setiap adegan yang ada pada film ini dengan background music yang terkesan kurang hidup serta bisa dikatakan, film ini jarang memiliki background music, sehingga setiap adegan dirasa kosong tanpa musik. Selain itu, unsur humor di film ini juga dirasa kurang oleh penonton, sehingga film ini terasa kering humor. Padahal, humor yang baik justru menjadi senjata yang ampuh untuk menaikkan tensi menonton penonton dan juga adalah hal yang wajib dalam setiap film animasi keluarga.

Overall, film Legend of the Guardians : The Owls of Ga’Hoole adalah film yang benar – benar unggul secara visual effect 3D dan sinematografi, namun lemah di eksekusi dan alur cerita. Bisa dikatakan, ada banyak pelajaran berharga yang mampu dipetik oleh Zack Snyder dalam debut pertamanya membuat film kartun ini. Ciri khas Zack Snyder, yaitu adegan – adegan action slow motion yang menawan memang masih ditampilkan disini. Di satu sisi, hal tersebut terasa keren dan juga obat mujarab untuk menghilangkan kebosanan penonton akibat alur ceritanya yang lambat. Namun di sisi lain, adegan – adegan action slow motion tersebut dirasa sudah tidak up to date lagi dan mungkin agak sedikit keras untuk anak – anak, walaupun dalam film ini, tidak ada sama sekali adegan cipratan darah. Ada baiknya jika Zack mulai mencari alternatif adegan keren lainnya selain slow motion action tersebut sebelum penonton merasa bosan untuk menikmati film – filmnya. Namun yang pasti, anda – anda yang sedang mempertimbangkan untuk menonton film ini dalam format 3D, anda WAJIB untuk menonton film ini dalam format 3D dan rasakan kedahsyatan 3D nya yang jempolan dan juga dazzling, sehingga bisa dipastikan, anda tidak akan sia – sia mengeluarkan uang untuk menonton film ini dengan format 3D. Sebagai contender How to Train Your Dragon dan juga Toy Story 3 dalam ajang perebutan Piala Oscar dalam kategori The Best Animated Feature tahun depan, kelihatannya Legends memang dirasa kurang mumpumi untuk merebut Oscar akibat eksekusi ceritanya yang kurang baik serta moral lesson yang kurang ditonjolkan maksimal dibandingkan kedua pesaingnya tersebut, walaupun memiliki keunggulan dalam hal sinematografi dan visual effect 3D nya. Namun, kita tunggu saja, kejutan apalagi yang terjadi pada Oscar tahun depan dalam sector The Best Animated Feature. He3. XD. Akhir kata, selamat menonton.

Point :

Cerita = 5 / 10

Pengisi Suara = 6 / 10

Kriteria khusus :

Sinematografi = 8 / 10

Special Efek ( 3D ) = 8 / 10

Unsur Hiburan

dan bobot cerita = 5 /10

Total = 6 / 10

Copyright : Alexander ”Ajay” Dennis