Review
Darah Garuda ( Merah Putih 2 ) ( Margate Film_2009 )
Pemain : Doni Alamsyah as Tomas
Lukman Sardi as Amir
Rudy Wowor as Major Van Gaartner
T. Rifnu Wikana as Dayan
Darius Sinathrya as Marius
Sutradara : Yadi Sugandi dan Conor Allyn
Rilis : 8 September 2010 ( Di Bioskop – Bioskop Indonesia )
Setelah tahun lalu kita disuguhi oleh film tentang Kemerdekaan Indonesia berjudul Merah Putih, maka di bulan September ini, kita akan disuguhi oleh sekuel film Merah Putih tersebut, kali ini dengan judul Darah Garuda, atau kadang lebih dikenal dengan Merah Putih 2. Masih dengan sutradara film pertamanya, yaitu Yadi Sugandi, namun kali ini dia dibantu oleh sutradara muda asal Amerika, Conor Allyn, yang bertindak sebagai sutradara kedua. Lalu, apakah hasilnya akan kurang semenarik film pertamanya, atau justru lebih baik, atau malahan, semakin buruk hasilnya?
Sebelum masuk ke dalam penilaian film ini, kita lihat terlebih dahulu sinopsis ceritanya. Film ini masih menceritakan tentang perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan Kemerdekaan dari tangan Belanda. Langsung menyambung dari film pertamanya, dimana tokoh Melati dan tokoh Senja ditawan oleh Belanda dan sudah menjadi tugas Letnan Amir beserta teman – temannya, yaitu Marius, Dayan, dan Tomas untuk menyelematkan kedua perempuan tersebut. Setelah misi penyelamatan kedua perempuan tersebut berhasil, keenam orang inipun bertemu dengan pasukan Jendral Sudirman yang bersembunyi di hutan dan kemudian mendapatkan misi untuk menghancurkan sebuah lapangan udara milik Belanda di Jawa Barat. Jika lapangan udara tersebut berhasil dihancurkan, maka pesawat – pesawat Belanda tidak dapat mendarat di Jawa Barat dan otomatis, kekuatan serangan Belanda akan melemah sehingga Indonesia tetap bisa mempertahankan Kemerdekaannya. Amir, Marius, Dayan, dan Tomas kemudian ditemani oleh pasukan khusus pimpinan Sersan Yanto dan seorang anak muda bernama Budi. Misi berjalan sulit dan juga tidak mudah bagi pasukan khusus tersebut. Dalam perjalanan misi inilah, akhirnya pasukan khusus tersebut bertemu dengan pasukan tentara Islam, serta mengenal lebih jauh mengenai kejamnya perang, seperti pengkhianatan, kesetia kawanan, serta rasa kehilangan sesama rekan prajurit di medan perang. Lalu, berhasilkah misi yang diemban oleh Amir dan kawan – kawan?
Nah, setelah melihat sinopsis filmnya, pertanyaan terbesarnya adalah : bagaimana dengan kualitas film ini? Apakah hasilnya seperti yang saya katakan diatas : cenderung sama buruk, lebih baik, atau justru lebih buruk ketimbang film pertamanya? Kali ini, dengan sangat menyesal bisa dikatakan, kualitas Darah Garuda justru lebih menurun dibanding film pertamanya, Merah Putih. Banyak point yang menyebabkan film Darah Garuda menjadi lebih buruk ketimbang pendahulunya. Adegan action yang semakin sedikit dan justru hasilnya semakin buruk ketimbang pendahulunya, stunt coordinator yang buruk, chemistry antar pemainnya yang tidak ada sama sekali, ilustrasi musik yang payah, jalinan cerita yang sengaja dibuat seperti terlihat kompleks namun sayangnya justru dieksekusi dengan standard adalah point – point minus yang membuat film ini menjadi lebih buruk ketimbang film pertamanya. Mari kita lihat satu persatu.
Untuk segi cerita, film ini memang dibuat seperti seolah – olah terlihat kompleks dan juga menarik. Isu pengkhianat di dalam tubuh pasukan khusus pimpinan Amir, pertemuan mereka dengan pasukan Islam, serta misi yang terlihat mustahil, dimana hanya ada sedikit orang yang ikut ambil bagian dalam misi penghancuran sebuah lapangan udara yang notabene dijaga ketat oleh pasukan Belanda, sayangnya justru tidak dieksekusi dengan baik dan cenderung memiliki penyelesaian yang terlihat gampang serta tidak memiliki tensi ketegangan sama sekali. Misalnya, isu pengkhianatan di tubuh pasukan khusus pimpinan Amir. Isu pengkhianatan ini justru dibuat tidak menarik serta tidak mampu menarik rasa kepenasaran penonton akibat terlalu cepat dibukanya kedok siapa yang menjadi pengkhianat di dalam pasukan Amir. Sutradara serta penulis ceritanya seakan tidak mampu untuk menarik-ulur dan membuat penonton penasaran lebih lama serta menebak – nebak tentang siapa pengkhianat di tubuh pasukan Amir. Hal ini sebenarnya bisa diakali dengan misalnya dengan cara tidak menunjukkan suara atau wajah sang pengkhianat untuk beberapa waktu kedepan hingga akhirnya BAM! Penonton terkejut dengan sosok pengkhianat tersebut. Namun hal tersebut tidak dilakukan oleh sang sutradara dan juga penulis naskah. Isu - isu tentang kesetiakawanan, persahabatan, rasa kehilangan rekan di medan perang pun juga tidak digali lebih dalam di film ini.
Dari sisi adegan action, film ini justru tidak banyak menampilkan adegan action. Jumlahnya sedikit dan hasilnya pun justru tidak spektakuler atau tidak mendebarkan sama sekali. Misalnya, adegan ketika Amir dan kawan – kawan berusaha membebaskan Senja dan Melati. Ketika terjadi baku tembak antara tentara Belanda dengan Amir dan kawan – kawan di camp tempat Melati dan Senja ditahan, adegan baku tembak tersebut tidak terlihat seru, mendebarkan, apalagi bernyawa. Selain itu, adegan penyerbuan markas besar Belanda di Jawa Barat oleh Tomas, Budi, dan Syaefullah pun digarap dengan asal dan tidak memiliki unsur ketegangan sama sekali. Bahkan ketika adegan penyerbuan lapangan udara milik Belanda pun terlihat kurang menarik sama sekali. Hal ini kelihatannya disebabkan oleh ilustrasi musiknya yang tidak mendukung adegan – adegan action yang ada, penyelesaian adegan action yang buruk, dan juga stunt coordinator yang buruk. Akibat point – point itulah, akhirnya film ini terlihat sebagai film action kurang darah dan terlihat membosankan bagi para pecinta film action, khususnya film action buatan luar negeri. Yadi Sugandi kelihatannya masih canggung untuk mengarahkan sebuah film perang kolosal semacam ini. Conor Allyn pun juga terlihat tidak memiliki kontribusi apapun untuk menghidupkan film action ini.
Dari sisi chemistry antar pemain, film ini juga tidak memiliki chemistry antar pemain sama sekali. Tidak seperti di film pertamanya, dimana chemistry antara tokoh Tomas dan Marius terlihat seru, lucu, dan juga menarik akibat karakter keduanya yang terlihat gontok – gontokan namun saling membanntu dan juga saling padu satu sama lain dan juga bisa dikatakan sebagai chemistry paling klop dalam film Merah Putih tahun lalu, maka di film Darah Garuda, chemistry kedua tokoh ini tidak terasa sama sekali. Hal ini dikarenakan screen time yang mereka berdua miliki terhitung sedikit dan tidak sebanyak serta semenarik ketika di film Merah Putih. Selain itu, cerita yang terlihat kompleks ( namun sebenarnya tidak ) serta perpindahan antar adegannya yang terlalu cepat membuat film ini tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengeksplore chemistry antar pemainnya.
Dari sisi akting para pemain, hanya akting Rudy Wowor saja yang terlihat meyakinkan sebagai Major Van Gaartner yang menyebalkan, cerdik, kejam, dan juga memiliki dendam pribadi dengan pasukan Amir dan kawan – kawannya. Sedangkan sisanya terlihat biasa – biasa saja. Aktris Atiqah Hasiholan di film ini justru hanya ditampilkan sebagai tempelan semata dan aktingnya tidak berkesan sama sekali. Sedangkan akting sisa pemain lainnya justru terlihat biasa – biasa saja. Akting aktor senior Alex Komang pun terkesan biasa saja, namun cukup terasa kewibawaannya sebagai pak Kyai. Akting keempat pemain utamanya ( Lukman Sardi, T Rifnu Wikana, Doni Alamsyah, dan Darius Sinathrya ) bisa dikatakan merupakan pengulangan akting mereka lewat film Merah Putih tahun lalu, sehingga tidak ada yang spesial sama sekali.
Overall, film darah Garuda adalah contoh sebuah film yang memiliki kualitas lebih buruk ketimbang pendahulunya. Point – point diatas cukup memberikan bukti betapa buruknya film ini. Kehadiran sutradara muda, Conor Allyn, sebagai 2nd director yang membantu Yadi Sugandi justru tidak membantu sama sekali. Kelihatannya, Allyn harus malu dan belajar dari sutradara Gareth Evans dengan film Merantau nya tahun lalu yang terlihat lebih seru, lebih menegangkan, dan lebih enak untuk dinikmati oleh para penonton. Evans berhasil membuktikan bahwa dirinya mampu membuat sebuah film action full adrenalin rush yang menghibur bagi para penonton Indonesia dan penonton terbukti menyukai film Merantau serta terkesan dengan adegan – adegan action yang ada di film tersebut dan juga terlihat lebih seru ketimbang film Darah Garuda ini. Selain itu, Yadi Sugandi pun kelihatannya harus lebih banyak belajar untuk mengarahkan sebuah film action perang kolosal dan juga harus belajar untuk mengarahkan para pemainnya agar bisa mengeluarkan akting terbaik mereka dan juga lebih memiliki chemistry antar pemain. Tragis memang, film Darah Garuda justru lebih melempem ketimbang pendahulunya. Dan menjadi pertanyaan untuk ke depannya, apakah film Merah Putih ke 3 tahun depan akan menjadi lebih seru, atau justru lebih buruk kualitasnya, atau sama buruknya? Dan pertanyaan besarnya adalah : apakah penonton masih sanggup dan mau untuk mengikuti film Merah Putih ke 3 tersebut setelah melihat hasil super mengecewakan dari film Merah Putih ke 2 nya ini? Hanya waktu yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. 1 hal yang pasti, doa saya tahun lalu mengenai peningkatan kualitas film ini, ternyata tidak terjawab, dan 2 kata untuk menggambarkan kualitas film ini : BURUK dan TRAGIS!
Point :
Cerita = 5 / 10
Pemeran = 5 / 10
Kriteria khusus :
Action = 4 / 10
Special Efek = 4 / 10
Unsur Hiburan
Dan pembelajaran
manfaatnya = 4 /10
Wow, pendapatnya beda2, ya. Di sebagian blog yg saya baca, banyak yg bilang film ini lebih bagus dari film pertamnya karena lebih banyak action.
BalasHapusBetul gan, menurut saya juga lebih bagus yang kedua. adminnya payah nih
Hapus