Jumat, 01 Oktober 2010

Review Legend of the Guardians : The Owls of Ga'Hoole


Review

Legend of the Guardians : The Owls of Ga’Hoole ( Warner Bros Pictures_2010 )

Pemain :

  • Jim Sturgess as Soren
  • Geoffrey Rush as Ezylryb
  • Emily Barclay as Gylfie
  • Jay Laga'aia as Twilight
  • David Wenham as Digger
  • Hugo Weaving as Noctus/Grimble
  • Ryan Kwanten as Kludd
  • Sam Neill as Metal Beak
  • Helen Mirren as Nyra
  • Emilie de Ravin as Eglantine
  • Richard Roxburgh as Boron
  • Abbie Cornish as Otulissa

Sutradara : Zack Snyder

Rilis =

  • 24 September 2010 ( Amerika Serikat )
  • 29 September 2010 ( Main di Bioskop Indonesia dalam format 2D dan 3D )

Sebagai sebuah film animasi perdana karya sutradara Zack Snyder, apakah film Legend of the Guardians : The Owls of Ga’Hoole mampu untuk memikat semua kalangan, baik itu anak – anak, remaja, dan juga orang dewasa? Mari kita lihat reviewnya.

Film ini berkisah tentang Soren ( Sturgess ), sesosok burung hantu remaja yang sangat tertarik dengan sebuah legenda mitologi berjudul Guardians of Ga’Hoole, yaitu sebuah legenda tentang sekelompok burung hantu yang bersumpah untuk melindungi kerajaan burung hantu ( The Owl Kingdom ) beserta dengan penduduknya dari serangan pasukan burung jahat bernama The Pure Ones. Tak cuma menyukai cerita legenda itu saja, Soren pun bermimpi ingin menjadi salah seorang kesatria Ga’Hoole kelak ketika sudah dewasa nanti. Sang kakak, Kludd ( Kwanten ) pun benar – benar membenci Soren karena lewat mimpi sang adik tersebut, perhatian orang tuanya lebih tercurah kepada sang adik dibanding dirinya. Hingga akhirnya, Kludd dan Soren terjatuh dari sarang tempat mereka tinggal dan kemudian diculik oleh para anggota The Pure Ones dibawah komando seorang burung hantu jahat bernama Metal Beak ( Neill ) dan kekasihnya, Nyra ( Mirren ). Kakak beradik tersebut dibawa ke sebuah pulau yang asing dengan tujuan untuk dicuci otaknya supaya menjadi prajurit The Pure Ones dan bermaksud untuk menyerang serta menghancurkan The Owl Kingdom. Soren yang mengetahui hal tersebut berusaha kabur dari tempat tersebut ditemani dengan seekor burung hantu bernama Gylfie ( Barclay ). Soren berusaha untuk membujuk sang kakak, Kludd, untuk kabur bersama – sama. Namun, Kludd ternyata memilih untuk tetap bersama dengan Pure Ones. Ketika mereka lolos dari fasilitas tersebut, mereka bertemu dengan 2 ekor burung hantu, yaitu Twilight ( LaPaglia ) dan Digger ( Wenham ). Bersama, keempat burung hantu tersebut pun memulai petualangannya melewati lembah – lembah berbahaya serta melewati samudera yang ganas untuk mencari Guardians of Ga’Hoole serta menceritakan niat jahat The Pure Ones yang hendak menghancurkan The Owl Kingdom kepada Guardians of Ga’Hoole sebelum terlambat.

Film ini benar – benar patut diacungi 2 jempol akibat tampilan efek visual 3D nya yang sangat nyata dan juga berani untuk menampilkan warna – warna cerah yang indah serta warna gelap yang juga terasa indah. Aspek sinematografi film ini terasa brilliant dan juga bagus. Unsur pencahayaan, pewarnaan, serta efek 3D di film ini tergolong jempolan dan dikerjakan secara serius oleh tim animasi, special effect, dan 3D specialist dari studio visual effect Australia bernama Animal Logic. Studio visual effect ini memang sudah menunjukkan taringnya sebagai salah satu studio visual effect terbaik dalam kategori film animasi lewat film animasi yang menyabet Piala Oscar tahun 2006, Happy Feet. Kini, lewat film Legend of the Guardians : The Owls of Ga’Hoole, Animal Logic kembali membuktikan bahwa mereka bukanlah studio visual effect yang main – main dalam memproduksi film animasi. Terbukti, 3D film ini terasa jempolan. Penonton diajak untuk merasakan bagaimana rasanya ketika seekor burung terbang bebas di angkasa. Angle Shot yang pas untuk mengkuti setiap gerakan burung yang terbang di angkasa terasa bagus dan juga hidup ketika kita menonton filmnya dalam format 3D. Hal ini hampir mirip seperti kasus How to Train Your Dragon tempo hari, dimana kita bisa ikut merasakan bagaimana rasanya kita terbang bersama naga di angkasa. Dalam hal pewarnaan ama pencahayaan, Animal Logic juga berhasil memberikan komposisi pewarnaan dan pencahayaan yang indah dan solid. Akibat kedua hal tersebut, penonton bisa merasa feel warm, feel dark, feel hot ( pas adegan di hutan api ) dalam setiap adegan di film ini, apalagi ketika tokoh – tokoh burung tersebut terbang menyongsong matahari atau menyongsong badai di tengah – tengah samudera yang ganas. Akibatnya, penonton serasa melihat sunset atau sunrise atau juga serasa melihat badai secara nyata. Ketika Soren menerjang badai, bulir – bulir airnya terasa bagus dan nyata. Tak ketinggalan, ekspresi wajah para burung di film ini juga terkesan hidup. Mimik muka, warna bulu, serta gerakan bulu yang halus ketika diterpa angin adalah bukti bahwa animasi untuk setiap burung di film ini dikerjakan dengan serius dan tidak asal – asalan.

Untuk sektor pengisi suara, yang paling menonjol jelas adalah aktris Hellen Mirren yang mengisi suara Nyra. Suaranya yang keibuan namun juga licik dan kejam mampu dipersembahkan oleh aktris Inggris berusia 65 tahun ini. Pengisi suara Eglantine, yaitu Adrienne deFaria juga berhasil membuat penonton gemas dengan suaranya yang seperti anak kecil lucu nan menggemaskan. Aktor asal Australia, Sam Neill bertugas dengan cukup baik sebagai pengisi suara Metal Beak yang kejam dan tanpa ampun sebagai pemimpin The Pure Ones. Dan tak ketinggalan, rekan aktor Sam Neill yang sama – sama asal Australia, Hugo Weaving, kembali berhasil mengeluarkan suaranya yang khas dan penuh wibawa sebagai Noctus, ayah Soren, Kludd, dan Eglantine, dan juga Grimble, burung hantu yang membantu Soren serta Gylvie untuk kabur dari sarang The Pure Ones. Pengisi suara Kludd, Ryan Kwanten, sayangnya kurang hidup untuk mengisi suara Kludd, kakak Soren yang pencemburu dan tega untuk mengkhianati sang adik, Soren. Para pengisi suara yang lainnya bertugas biasa saja dan tidak ada yang menonjol.

Namun, dibalik kekuatan film ini yang terletak pada visual effect 3D serta sinematografi ( pencahayaan, pewarnaan, dan lain sebagainya ), film ini sayangnya lemah pada eksekusi cerita serta alur filmnya yang berjalan sedikit membosankan. Sebenarnya film ini memiliki moral lesson yang cukup banyak dan bisa menjadi bahan perenungan bagi kita semua yang menonton film ini. Kesetiaan, kekeluargaan, pengkhianatan, persaudaraan dengan saudara sekandung, dan rasa saling memaafkan satu sama lain adalah banyak pesan cerita yang sayangnya tidak digali lebih dalam di film ini. Hanya 1 pesan cerita yang digali lebih dalam dalam film ini, yaitu tetap percaya dan kejar mimpi yang anda miliki, dan hal tersebut bisa menjadi kenyataan jika mau berusaha dengan keras dan tetap percaya dengan mimpi tersebut. Padahal jika mau disinggung lebih dalam tentang pesan – pesan cerita yang lain tersebut, film ini akan terasa makin lengkap dan juga komplit. Mengenai alur ceritanya yang berjalan lambat dan membosankan, hal ini terjadi karena tidak diimbanginya setiap adegan yang ada pada film ini dengan background music yang terkesan kurang hidup serta bisa dikatakan, film ini jarang memiliki background music, sehingga setiap adegan dirasa kosong tanpa musik. Selain itu, unsur humor di film ini juga dirasa kurang oleh penonton, sehingga film ini terasa kering humor. Padahal, humor yang baik justru menjadi senjata yang ampuh untuk menaikkan tensi menonton penonton dan juga adalah hal yang wajib dalam setiap film animasi keluarga.

Overall, film Legend of the Guardians : The Owls of Ga’Hoole adalah film yang benar – benar unggul secara visual effect 3D dan sinematografi, namun lemah di eksekusi dan alur cerita. Bisa dikatakan, ada banyak pelajaran berharga yang mampu dipetik oleh Zack Snyder dalam debut pertamanya membuat film kartun ini. Ciri khas Zack Snyder, yaitu adegan – adegan action slow motion yang menawan memang masih ditampilkan disini. Di satu sisi, hal tersebut terasa keren dan juga obat mujarab untuk menghilangkan kebosanan penonton akibat alur ceritanya yang lambat. Namun di sisi lain, adegan – adegan action slow motion tersebut dirasa sudah tidak up to date lagi dan mungkin agak sedikit keras untuk anak – anak, walaupun dalam film ini, tidak ada sama sekali adegan cipratan darah. Ada baiknya jika Zack mulai mencari alternatif adegan keren lainnya selain slow motion action tersebut sebelum penonton merasa bosan untuk menikmati film – filmnya. Namun yang pasti, anda – anda yang sedang mempertimbangkan untuk menonton film ini dalam format 3D, anda WAJIB untuk menonton film ini dalam format 3D dan rasakan kedahsyatan 3D nya yang jempolan dan juga dazzling, sehingga bisa dipastikan, anda tidak akan sia – sia mengeluarkan uang untuk menonton film ini dengan format 3D. Sebagai contender How to Train Your Dragon dan juga Toy Story 3 dalam ajang perebutan Piala Oscar dalam kategori The Best Animated Feature tahun depan, kelihatannya Legends memang dirasa kurang mumpumi untuk merebut Oscar akibat eksekusi ceritanya yang kurang baik serta moral lesson yang kurang ditonjolkan maksimal dibandingkan kedua pesaingnya tersebut, walaupun memiliki keunggulan dalam hal sinematografi dan visual effect 3D nya. Namun, kita tunggu saja, kejutan apalagi yang terjadi pada Oscar tahun depan dalam sector The Best Animated Feature. He3. XD. Akhir kata, selamat menonton.

Point :

Cerita = 5 / 10

Pengisi Suara = 6 / 10

Kriteria khusus :

Sinematografi = 8 / 10

Special Efek ( 3D ) = 8 / 10

Unsur Hiburan

dan bobot cerita = 5 /10

Total = 6 / 10

Copyright : Alexander ”Ajay” Dennis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar