Review
Merah Putih ( Produksi : Pt Media Desa Indonesia, Margate House_2009 )
Pemain : Doni Alamsyah as Tomas
Lukman Sardi as Amir
Rudy Wowor as Major Van Gaartner
T. Rifnu Wikana as Dayan
Darius Sinathrya as Marius
Sutradara : Yadi Sugandi
Rilis : 13 Agustus 2009 ( Di Bioskop – Bioskop Indonesia )
Film bertema kemerdekaan di jaman Perfilman Indonesia yang semakin lama semakin bobrok ini? Jelas, merupakan sebuah oase di tengah padang gurun tandus Perfilman Indonesia saat ini. Film yang sudah mulai mengeluarkan tajinya sejak akhir tahun 2008 ini akhirnya diputar juga di Indonesia tanggal 13 Agustus 2009 kemarin, 4 hari menjelang Kemerdekaan RI yang ke 64 yang akan jatuh pada tanggal 17 Agustus 2009 nanti.
Film ini mengambil setting tahun 1945, dimana kisahnya mengambil garis besar tentang awal – awal kemerdekaan RI, Agresi Militer Belanda yang dilancarkan kepada Indonesia, dan dimana Belanda mulai berusaha untuk merebut Kemerdekaan RI lagi agar bangsa Indonesia bisa dijajah lagi, layaknya seperti tempo dulu. Film ini menceritakan tentang sepak terjang 1 tim Pasukan Tentara Pejuang Rakyat di Jawa Tengah yang terdiri dari berbagai tokoh; ada Amir ( Sardi ) yang merupakan seorang guru tapi rela mendaftar sebagai perwira guna berjuang membela Negara dan berusaha mempertahankan Kemerdekaan RI dan memiliki seorang istri bernama Lastri yang sedang hamil 3 minggu; lalu Tomas ( Donny ) yang melihat kekejaman tentara Belanda membantai seluruh anggota keluarganya di depan mata kepalanya sendiri dan bersumpah untuk membalas dendam kematian keluarganya terhadap tentara Belanda dengan cara mendaftarkan diri sebagai prajurit di medan perang; lalu Marius ( Darius ) anak aritokrat Jawa yang ikut maju ke medan perang hanya untuk bersenang – senang; serta Dayan ( Wikana ), pemuda Bali berbadan tinggi besar yang pendiam tapi jago beladiri dan memainkan pisau serta pedang dan merupakan orang yang paling bijaksana, tenang, serta seorang motivator sejati ketika Amir sedang dalam saat keputus – asaan. Semua tokoh ini harus bersatu untuk menghadapi Belanda dan berusaha untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dari serangan Belanda yang bertubi – tubi.
Lalu, bagaimana dengan kualitas film ini? Sayangnya, film yang digembar – gemborkan dari akhir tahun 2008 lalu ini tergolong biasa – biasa saja di mata saya, tidak sebagus dan se – wah prediksi saya. Film ini memiliki beberapa point kekurangan menurut saya. Pertama, kurang serunya adegan – adegan action dan ledakan di film ini. Film ini digembar – gemborkan sebagai film dengan efek ledakan yang wah, sampai – sampai mengimport para ahli spesial efek ledakan dan laga yang didatangkan dari Amerika. Nyatanya? Justru adegan – adegan action dan ledakannya menurut saya tetap masih belum se – wah dan belum bisa menandingi adegan action dan efek ledakan film – film Hollywood. Malah, kalo mau dibilang kasarnya, adegan action dan efek ledakannya masih kasar dan sebenarnya malah terkesan tidak dikerjakan oleh orang – orang import tersebut ( Maaf, tapi saya rasa, itulah kenyataannya menurut saya ). Kedua, film ini masih kurang dalam hal pendalaman latar belakang para karakternya. Memang, Kita akan diperlihatkan mengenai karakter masing – masing tokoh utamanya, tapi sayangnya, background karakter – karakter yang ada justru tidak di - eksplore secara mendalam, hanya background karakter Amir saja yang diperkenalkan secara samar – samar dan juga background karater Marius yang itupun hanya diucapkan lewat kata – kata saja. Dan terakhir, alur ceritanya berjalan lambat sehingga bisa membuat ngantuk para penonton yang mengharapkan film full action seperti yang digembar – gemborkan sebelumnya. Memang ada adegan terharunya, tapi ya kok justru jadi gak nangis ya?
Bagaimana dengan segi akting? Well, masing – masing aktor memiliki kualitas sendiri – sendiri. Lukman Sardi bermain biasa saja sebagai Amir, malah bisa dibilang, tidak sekreatif film – filmnya dia yang lain. Darius pun bermain cukup pas sebagai tokoh Marius yang memiliki sifat sombong, sok jago tapi ternyata penakut jika diserang Belanda serta memiliki pengetahuan yang bagus dalam hal membaca peta, mengoperasikan peralatan – peralatan Belanda yang modern di jaman itu seperti mobil Jip misalnya, dan juga ahli dalam hal medis. Ekspresi mukanya tergolong pas ketika mulai memperlihatkan tampang ”senga” nya dan juga ekpresi ketakutannya. Donny Alamsyah bermain sip juga sebagai Tomas, seorang pemuda Minahasa dengan logat Minahasa yang kental dan merupakan seorang tokoh yang cepat panasan tempramennya serta siap untuk berperang setiap saat demi membalaskan dendamnya dan juga terkesan polos ( malah bisa dibilang blo’on ) dalam hal mengoperasikan alat – alat modern nya Belanda. Chemistry Darius dan Donny dalam film ini justru menjadi point plus film ini, dimana tokoh mereka saling bersaing satu sama lain, saling gontok – gontokkan, tapi sebenarnya saling melengkapi satu sama lain dan terkesan kocak di film ini. Seperti misalnya adegan dimana Tomas buru – buru pergi ke suatu daerah dengan berjalan kaki, tapi disuruh menggunakan mobil saja supaya lebih cepat. Ketika dia naik mobil, emang dasarnya masih belum tau mobil, dia pun marah – marah ” Hey, benda apa ini? Kok tidak maju – maju? Mana bisa cepat dengan menggunakan benda ini?” dan akhirnya, Marius lah yang menggantikan dia untuk berkendara mobil tersebut. Lalu, T Rifnu Wikana sebagai tokoh Dayan pun lumayan mencuri perhatian, lewat tokoh coolnya, tapi ternyata menyimpan berbagai potensi dalam dirinya.
Point plus lainnya film ini terletak pada keberhasilan sutradara untuk menampilkan keberagaman, baik itu suku, budaya, dan agama dalam film ini, sehingga film ini pun memang berhasil dalam hal memadukan ketiga perbedaan tersebut dengan gamblang tanpa menyinggung satu pihak pun. Setting Jawa Tengah tempo dulu dan hutan serta sungai di Jawa Tengah pun berhasil direkam dengan baik di film ini.
Overall, film ini sayangnya tetap belum bisa menjadi sebuah film nasional yang semonumental sesuai dengan yang digembar – gemborkan sebelumnya. Film ini bagai kekurangan darah dalam hal action, background tokoh, serta alurnya yang lambat, sehingga kesannya menjadi film biasa saja. Apa kekurangan – kekurangan tersebut akibat mau dibuatnya film ini menjadi trilogi? Entahlah, tapi menurut saya, jika fondasi awalnya saja kurang matang, bagaimana dengan kelanjutan filmnya nanti? Mungkin film makernya bisa belajar dari film Batman Begins, dimana di film ini, fondasi cerita dan background karakter masing – masing tokoh yang ada sudah kuat dan buktinya, lewat The Dark Knight, film tersebut berhasil menjadi film dengan penghasilan Box Office terbesar, nyaris menyaingi Titanic akibat fondasi karakter serta cerita yang sudah kuat di Batman Begins. Di sisi lain, film ini cukup pas untuk diputar menjelang kemerdekaan Indonesia karena cukup berhasil menggambarkan keberagaman yang ada tanpa saling menyinggung atau bahkan merendahkan satu sama lain dan juga cukup berhasil untuk menggambarkan semangat nasional Kemerdekaan Indonesia, walaupun masih kurang menurut saya dan tentunya, film ini merupakan sebuah film yang lain daripada yang lain dan berani untuk mendobrak steriotipe film – film Indonesia saat ini yang makin hari makin hancur ajubile kualitasnya. Yang jelas, saya berharap saja, semoga seri kedua dan ketiga film Merah Putih ini, bisa diperbaiki kualitasnya dan bisa lebih baik dari seri ke seri. SEMOGA!
Point :
Cerita = 6 / 10
Pemeran = 6 / 10
Kriteria khusus :
Action = 5 / 10
Special Efek = 4 / 10
Unsur Hiburan
Dan pembelajaran
manfaatnya = 6 /10
Total = 5,5 / 10
Copyright : Alexander ”Ajay” Dennis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar